2009/11/10
Siklus hidrologi
Siklus air atau siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi.
Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara terus menerus. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut.
Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:
* Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
* Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
* Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut.
Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.
Ilmu bumi
Ilmu bumi (Inggris: earth science, geoscience) adalah suatu istilah untuk kumpulan cabang-cabang ilmu yang mempelajari bumi. Cabang ilmu ini menggunakan gabungan ilmu fisika, geografi, matematika, kimia, dan biologi untuk membentuk suatu pengertian kuantitatif dari lapisan-lapisan bumi.
Dalam melaksanakan kajiannya, ilmuwan dalam bidang ini menggunakan metode ilmiah, yaitu formulasi hipotesa melalui observasi dan pengumpulan data mengenai fenomena alam yang dilanjutkan dengan pengujian hipotesa-hipotesa tersebut. Dalam ilmu bumi, peranan data sangat penting dalam menguji dan membentuk suatu hipotesa.
Cabang utama
* Geologi mempelajari lapisan batuan dari kulit bumi (atau litosfer) dan perkembangan sejarahnya. Cabang utama dari ilmu ini adalah mineralogi, petrologi, geokimia, paleontologi, stratigrafi dan sedimentologi.
* Geofisika mempelajari sifat-sifat fisis bumi, seperti bentuk bumi, reaksi terhadap gaya, serta medan potensial bumi (medan magnet dan gravitasi). Geofisika juga menyelidiki interior bumi seperti inti, mantel bumi, dan kulit bumi serta kandungan-kandungan alaminya.
* Geodesi mempelajari pergerakan bintang dan satelit bumi.
* Ilmu tanah mempelajari lapisan terluar kulit bumi yang terlibat dalam proses pembentukan tanah (atau pedosfer). Disiplin ilmu utama antara lain adalah edafologi dan pedologi.
* Oseanografi dan hidrologi mempelajari bagian air dari bumi (laut dan air tawar) atau hidrosfer. Kadang cabang ilmu ini digabungkan dengan geofisika.
* Glasiologi mempelajari bagian es dari bumi (atau kriosfer).
* Ilmu atmosfer mempelajari bagian gas dari bumi (atau atmosfer) antara permukaan bumi sampai lapisan eksofer (~1000 km). Cabang utama bidang ini adalah meteorologi, klimatologi, dan aeronomi.
Interaksi yang terjadi antara lapisan-lapisan bumi membuat banyak cabang modern ilmu ini yang melakukan pendekatan interdisiplin untuk mempelajarinya. Contohnya adalah untuk memahami sirkulasi lautan, interaksi antara laut, atmosfer, dan perputaran bumi juga harus diperhitungkan.
Dalam melaksanakan kajiannya, ilmuwan dalam bidang ini menggunakan metode ilmiah, yaitu formulasi hipotesa melalui observasi dan pengumpulan data mengenai fenomena alam yang dilanjutkan dengan pengujian hipotesa-hipotesa tersebut. Dalam ilmu bumi, peranan data sangat penting dalam menguji dan membentuk suatu hipotesa.
Cabang utama
* Geologi mempelajari lapisan batuan dari kulit bumi (atau litosfer) dan perkembangan sejarahnya. Cabang utama dari ilmu ini adalah mineralogi, petrologi, geokimia, paleontologi, stratigrafi dan sedimentologi.
* Geofisika mempelajari sifat-sifat fisis bumi, seperti bentuk bumi, reaksi terhadap gaya, serta medan potensial bumi (medan magnet dan gravitasi). Geofisika juga menyelidiki interior bumi seperti inti, mantel bumi, dan kulit bumi serta kandungan-kandungan alaminya.
* Geodesi mempelajari pergerakan bintang dan satelit bumi.
* Ilmu tanah mempelajari lapisan terluar kulit bumi yang terlibat dalam proses pembentukan tanah (atau pedosfer). Disiplin ilmu utama antara lain adalah edafologi dan pedologi.
* Oseanografi dan hidrologi mempelajari bagian air dari bumi (laut dan air tawar) atau hidrosfer. Kadang cabang ilmu ini digabungkan dengan geofisika.
* Glasiologi mempelajari bagian es dari bumi (atau kriosfer).
* Ilmu atmosfer mempelajari bagian gas dari bumi (atau atmosfer) antara permukaan bumi sampai lapisan eksofer (~1000 km). Cabang utama bidang ini adalah meteorologi, klimatologi, dan aeronomi.
Interaksi yang terjadi antara lapisan-lapisan bumi membuat banyak cabang modern ilmu ini yang melakukan pendekatan interdisiplin untuk mempelajarinya. Contohnya adalah untuk memahami sirkulasi lautan, interaksi antara laut, atmosfer, dan perputaran bumi juga harus diperhitungkan.
Hidrologi
Hidrologi (berasal dari Bahasa Yunani: Yδρoλoγια, Yδωρ+Λoγos, Hydrologia, "ilmu air") adalah cabang ilmu teknik sipil yang mempelajari pergerakan, distribusi, dan kualitas air di seluruh Bumi, termasuk siklus hidrologi dan sumber daya air. Orang yang ahli dalam bidang hidrologi disebut hidrolog, bekerja dalam bidang ilmu bumi dan ilmu lingkungan, serta teknik sipil dan teknik lingkungan.
Domain hidrologi meliputi hidrometeorologi, hidrologi air-permukaan, hidrogeologi, manajemen limbah dan kualitas air, dimana air memiliki peranan penting. Oseanografi dan meteorologi tidak termasuk karena air hanya satu dari aspek penting lainnya.
Penelitian Hidrologi juga memiliki kegunaan lebih lanjut bagi teknik lingkungan, kebijakan lingkungan, serta perencanaan. Hidrologi juga mempelajari perilaku hujan terutama meliputi periode ulang curah hujan karena berkaitan dengan perhitungan banjir serta rencana untuk setiap bangunan teknik sipil antara lain bendung, bendungan dan jembatan.
[sunting] Lihat pula
2009/09/30
2009/08/29
Hutan Indonesia
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.
Hutan merupakan suatu kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.
Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas.
Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Bagian-bagian hutan
Hutan Slurup di gunung Wilis pada sisi Kabupaten Kediri, tepatnya di daerah Dolo kecamatan Mojo. Hutan dengan banyak aliran air, berhawa dingin dan tingkat kelembaban rendah
Bayangkan mengiris sebuah hutan secara melintang. Hutan seakan-akan terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian di atas tanah, bagian di permukaan tanah, dan bagian di bawah tanah.
Jika kita menelusuri bagian di atas tanah hutan, maka akan terlihat tajuk (mahkota) pepohonan, batang kekayuan, dan tumbuhan bawah seperti perdu dan semak belukar. Di hutan alam, tajuk pepohonan biasanya tampak berlapis karena ada berbagai jenis pohon yang mulai tumbuh pada saat yang berlainan.
Di bagian permukaan tanah, tampaklah berbagai macam semak belukar, rerumputan, dan serasah. Serasah disebut pula 'lantai hutan', meskipun lebih mirip dengan permadani. Serasah adalah guguran segala batang, cabang, daun, ranting, bunga, dan buah. Serasah memiliki peran penting karena merupakan sumber humus, yaitu lapisan tanah teratas yang subur. Serasah juga menjadi rumah dari serangga dan berbagai mikro organisme lain. Uniknya, para penghuni justru memakan serasah, rumah mereka itu; menghancurkannya dengan bantuan air dan suhu udara sehingga tanah humus terbentuk.
Di bawah lantai hutan, kita dapat melihat akar semua tetumbuhan, baik besar maupun kecil, dalam berbagai bentuk. Sampai kedalaman tertentu, kita juga dapat menemukan tempat tinggal beberapa jenis binatang, seperti serangga, ular, kelinci, dan binatang pengerat lain.
[sunting] Mengapa hutan tidak tampak sama?
Iklim, tanah, dan bentuk bentang lahan di setiap daerah adalah khas. Sebuah daerah mungkin beriklim sangat basah, sedangkan suatu tempat lain luar biasa keringnya. Daerah A mungkin bertanah rawa, daerah B sebaliknya berkapur. Ada yang berupa gunung terjal, sementara yang lain merupakan dataran rendah.
Semua tumbuhan dan satwa di dunia, pun manusia, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat mereka berada. Jika suatu jenis tumbuhan atau satwa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik di daerah tertentu, maka mereka akan dapat berkembang di daerah tersebut. Jika tidak, mereka justru tersingkir dari tempat ini. Contohnya, kita menemukan pohon bakau di daerah genangan dangkal air laut karena spesies pohon ini tahan garam dan memiliki akar napas yang sesuai dengan sifat tanah dan iklim panas pantai.
Sebaliknya, cara berbagai tumbuhan dan satwa bertahan hidup akan mempengaruhi lingkungan fisik mereka, terutama tanah, walaupun secara terbatas. Tumbuhan dan satwa yang berbagi tempat hidup yang sama justru lebih banyak saling mempengaruhi di antara mereka. Agar mampu bertahan hidup di lingkungan tertentu, berbagai tumbuhan dan hewan memang harus memilih antara bersaing dan bersekutu. Burung kuntul, misalnya, menghinggapi punggung banteng liar untuk mendapatkan kutu sebagai makanannya. Sebaliknya, banteng liar terbantu karena badannya terbebas dari sebuah sumber penyakit.
Jadi, hutan merupakan bentuk kehidupan yang berkembang dengan sangat khas, rumit, dan dinamik. Pada akhirnya, cara semua penyusun hutan saling menyesuaikan diri akan menghasilkan suatu bentuk klimaks, yaitu suatu bentuk masyarakat tumbuhan dan satwa yang paling cocok dengan keadaan lingkungan yang tersedia. Akibatnya, kita melihat hutan dalam beragam wujud klimaks, misalnya: hutan sabana, hutan meranggas, hutan hujan tropis, dan lain-lain.
[sunting] Macam-macam Hutan
Rimbawan berusaha menggolong-golongkan hutan sesuai dengan ketampakan khas masing-masing. Tujuannya untuk memudahkan manusia dalam mengenali sifat khas hutan. Dengan mengenali betul-betul sifat sebuah hutan, kita akan memperlakukan hutan secara lebih tepat sehingga hutan dapat lestari, bahkan terus berkembang.
Ada berbagai jenis hutan. Pembedaan jenis-jenis hutan ini pun bermacam-macam pula. Misalnya:
[sunting] Menurut asal
Kita mengenal hutan yang berasal dari biji, tunas, serta campuran antara biji dan tunas. Hutan yang berasal dari biji disebut juga ‘hutan tinggi’ karena pepohonan yang tumbuh dari biji cenderung menjadi lebih tinggi dan dapat mencapai umur lebih lanjut. Hutan yang berasal dari tunas disebut ‘hutan rendah’ dengan alasan sebaliknya. Hutan campuran, oleh karenanya, disebut ‘hutan sedang’.
Penggolongan lain menurut asal adalah hutan perawan (primer) dan hutan sekunder. Hutan perawan merupakan hutan yang masih asli dan belum pernah dibuka oleh manusia. Hutan sekunder adalah hutan yang tumbuh kembali secara alami setelah ditebang atau kerusakan yang cukup luas. Akibatnya, pepohonan di hutan sekunder sering terlihat lebih pendek dan kecil. Namun, jika dibiarkan tanpa gangguan —misalnya, selama ratusan tahun— kita akan sulit membedakan hutan sekunder dari hutan primer.
[sunting] Menurut cara permudaan (tumbuh kembali)
Hutan dapat dibedakan sebagai hutan dengan permudaan alami, permudaan buatan, dan permudaan campuran. Hutan dengan permudaan alami berarti bunga pohon diserbuk dan biji pohon tersebar bukan oleh manusia, melainkan oleh angin, air, atau hewan. Hutan dengan permudaan buatan berarti manusia sengaja menyerbukkan bunga serta menyebar biji untuk menumbuhkan kembali hutan. Hutan dengan permudaan campuran berarti campuran kedua jenis sebelumnya.
Di daerah beriklim sedang, perbungaan terjadi dalam waktu singkat, sering tidak berlangsung setiap tahun, dan penyerbukannya lebih banyak melalui angin. Di daerah tropis, perbungaan terjadi hampir sepanjang tahun dan hampir setiap tahun. Sebagai pengecualian, perbungaan pohon-pohon dipterocarp (meranti) di Kalimantan dan Sumatera terjadi secara berkala. Pada tahun tertentu, hutan meranti berbunga secara berbarengan, tetapi pada tahun-tahun berikutnya meranti sama sekali tidak berbunga. Musim bunga hutan meranti merupakan kesempatan emas untuk melihat biji-biji meranti yang memiliki sepasang sayap melayang-layang terbawa angin.
[sunting] c. Menurut susunan jenis
Berdasarkan susunan jenisnya, kita mengenal hutan sejenis dan hutan campuran. Hutan sejenis, atau hutan murni, memiliki pepohonan yang sebagian besar berasal dari satu jenis, walaupun ini tidak berarti hanya ada satu jenis itu. Hutan sejenis dapat tumbuh secara alami baik karena sifat iklim dan tanah yang sulit maupun karena jenis pohon tertentu lebih agresif. Misalnya, hutan tusam (pinus) di Aceh dan Kerinci terbentuk karena kebakaran hutan yang luas pernah terjadi dan hanya tusam jenis pohon yang bertahan hidup. Hutan sejenis dapat juga merupakan hutan buatan, yaitu hanya satu atau sedikit jenis pohon utama yang sengaja ditanam seperti itu oleh manusia, seperti dilakukan di lahan-lahan HTI (hutan tanaman industri).
Penggolongan lain berdasarkan pada susunan jenis adalah hutan daun jarum (konifer) dan hutan daun lebar. Hutan daun jarum (seperti hutan cemara) umumnya terdapat di daerah beriklim dingin, sedangkan hutan daun lebar (seperti hutan meranti) biasa ditemui di daerah tropis.
[sunting] Menurut umur
Kita dapat membedakan hutan sebagai hutan seumur (berumur kira-kira sama) dan hutan tidak seumur. Hutan alam atau hutan permudaan alam biasanya merupakan hutan tidak seumur. Hutan tanaman boleh jadi hutan seumur atau hutan tidak seumur.
| width="50%" align="left" valign="top" |
[sunting] Berdasarkan letak geografisnya:
* hutan tropika, yakni hutan-hutan di daerah khatulistiwa
* hutan temperate, hutan-hutan di daerah empat musim (antara garis lintang 23,5º - 66º).
* hutan boreal, hutan-hutan di daerah lingkar kutub.
[sunting] Berdasarkan sifat-sifat musimannya:
* hutan hujan (rainforest), dengan banyak musim hujan.
* hutan selalu hijau (evergreen forest)
* hutan musim atau hutan gugur daun (deciduous forest)
* hutan sabana (savannah forest), di tempat-tempat yang musim kemaraunya panjang. Dll.
[sunting] Berdasarkan ketinggian tempatnya:
* hutan pantai (beach forest)
* hutan dataran rendah (lowland forest)
* hutan pegunungan bawah (sub-montane forest)
* hutan pegunungan atas (montane forest)
* hutan kabut (cloud forest)
* hutan elfin (alpine forest)
[sunting] Berdasarkan keadaan tanahnya:
* hutan rawa air-tawar atau hutan rawa (freshwater swamp-forest)
* hutan rawa gambut (peat swamp-forest)
* hutan rawa bakau, atau hutan bakau (mangrove forest)
* hutan kerangas (heath forest)
* hutan tanah kapur (limestone forest), dan lainnya
[sunting] Berdasarkan jenis pohon yang dominan:
* hutan jati (teak forest), misalnya di Jawa Timur.
* hutan pinus (pine forest), di Aceh.
* hutan dipterokarpa (dipterocarp forest), di Sumatra dan Kalimantan.
* hutan ekaliptus (eucalyptus forest) di Nusa Tenggara. Dll.
[sunting] Berdasarkan sifat-sifat pembuatannya:
* hutan alam (natural forest)
* hutan buatan (man-made forest), misalnya:
o hutan rakyat (community forest)
o hutan kota (urban forest)
o hutan tanaman industri (timber estates atau timber plantation) Dll.
[sunting] Berdasarkan tujuan pengelolaannya:
* hutan produksi, yang dikelola untuk menghasilkan kayu ataupun hasil hutan bukan kayu (non-timber forest product)
* hutan lindung, dikelola untuk melindungi tanah dan tata air
* hutan suaka alam, dikelola untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati atau keindahan alam
* hutan konversi, yakni hutan yang dicadangkan untuk penggunaan lain, dapat dikonversi untuk pengelolaan non-kehutanan.
Lereng gunung Arjuna di wilayah Sumberawan, kecamatan Singosari, kabupaten Malang
Dalam kenyataannya, seringkali beberapa faktor pembeda itu bergabung, dan membangun sifat-sifat hutan yang khas. Misalnya, hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rainforest), atau hutan dipterokarpa perbukitan (hilly dipterocarp forest). Hutan-hutan rakyat, kerap dibangun dalam bentuk campuran antara tanaman-tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian jangka pendek, sehingga disebut dengan istilah wanatani atau agroforest.
[sunting] Jenis-jenis hutan di Indonesia
[sunting] Berdasarkan biogeografi
Kepulauan Nusantara adalah ketampakan alam yang muncul dari proses pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih terus saling mendekati. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini.
Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya.
* Kawasan Paparan Sunda (di bagian barat)
Paparan Sunda adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Oriental (Benua Asia) dan berada di sisi barat Garis Wallace. Garis Wallace merupakan suatu garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sunda dan di bagian lebih timur Indonesia. Garis ini bergerak dari utara ke selatan, antara Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Bali dan Lombok. Garis ini mengikuti nama biolog Alfred Russel Wallace yang, pada 1858, memperlihatkan bahwa sebaran flora fauna di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali lebih mirip dengan yang ada di daratan Benua Asia.
* Kawasan Paparan Sahul (di bagian timur)
Paparan Sahul adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Australesia (Benua Australia) dan berada di sisi timur Garis Weber. Garis Weber adalah sebuah garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sahul dan di bagian lebih barat Indonesia. Garis ini membujur dari utara ke selatan antara Kepulauan Maluku dan Papua serta antara Nusa Tenggara Timur dan Australia. Garis ini mengikuti nama biolog Max Weber yang, sekitar 1902, memperlihatkan bahwa sebaran flora fauna di kawasan ini lebih serupa dengan yang ada di Benua Australia.
* Kawasan Wallacea / Laut Dalam (di bagian tengah)
Lempeng bumi pinggiran Asia Timur ini bergerak di sela Garis Wallace dan Garis Weber. Kawasan ini mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dan Kepulauan Maluku. Flora fauna di kawasan ini banyak merupakan jenis-jenis endemik (hanya ditemukan di tempat bersangkutan, tidak ditemukan di bagian lain manapun di dunia). Namun, kawasan ini memiliki juga unsur-unsur baik dari Kawasan Oriental maupun dari Kawasan Australesia. Wallace berpendapat bahwa laut tertutup es pada Zaman Es sehingga tumbuhan dan satwa di Asia dan Australia dapat menyeberang dan berkumpul di Nusantara. Kalaupun jenis Asia tetap lebih banyak terdapat di bagian barat dan jenis Australia di bagian timur, hal ini karena Kawasan Wallacea sesungguhnya dulu merupakan palung laut yang teramat dalam sehingga fauna sukar untuk melintasinya dan flora berhenti menyebar.
[sunting] Berdasarkan iklim
Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu:
* Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
* Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
* Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua.
Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan tropis, dan hutan muson.
Hutan gambut ada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai dan sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar pantai selatan Papua.
Hutan hujan tropis menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Di bagian barat Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili Dipterocarpaceae (terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Hopea). Lapisan tajuk di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, dan Guttiferaceae. Di bagian timur, genus utamanya adalah Pometia, Instia, Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.
Hutan muson tumbuh di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis), walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba), cendana (Santalum album), dan kayuputih (Melaleuca leucadendron).
[sunting] Berdasarkan sifat tanahnya
Berdasarkan sifat tanah, jenis hutan di Indonesia mencakup hutan pantai, hutan mangrove, dan hutan rawa.
* Hutan pantai terdapat sepanjang pantai yang kering, berpasir, dan tidak landai, seperti di pantai selatan Jawa. Spesies pohonnya seperti ketapang (Terminalia catappa), waru (Hibiscus tiliaceus), cemara laut (Casuarina equisetifolia), dan pandan (Pandanus tectorius).
* Hutan mangrove Indonesia mencapai 776.000 ha dan tersebar di sepanjang pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, dan pantai selatan Papua. Jenis-jenis pohon utamanya berasal dari genus Avicennia, Sonneratia, dan Rhizopheria.
* Hutan rawa terdapat di hampir semua pulau, terutama Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Spesies pohon rawa misalnya adalah nyatoh (Palaquium leiocarpum), kempas (Koompassia spp), dan ramin (Gonystylus spp).
[sunting] Berdasarkan pemanfaatan lahan
Luas hutan Indonesia terus menciut, sebagaimana diperlihatkan oleh tabel berikut: Luas Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan Tahun Luas (Hektar) 1950 162,0 juta 1992 118,7 juta 2003 110,0 juta 2005 93,92 juta
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit, kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta hektar pada 2005 itu dapat dirinci pemanfaatannya sebagai berikut:
1. Hutan tetap : 88,27 juta ha
2. Hutan konservasi : 15,37 juta ha
3. Hutan lindung : 22,10 juta ha
4. Hutan produksi terbatas : 18,18 juta ha
5. Hutan produksi tetap : 20,62 juta ha
6. Hutan produksi yang dapat dikonversi : 10,69 juta ha.
7. Areal Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) : 7,96 juta ha.
Lahan hutan terluas ada di Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha).
2009/08/06
Kehancuran Hutan Menyebabkan Perubahan Iklim
Pengundulan hutan atau deforestasi melepas gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah sangat besar, menyumbang terjadinya perubahan iklim yang berbahaya.
Hutan tropis menyimpan karbon di tanah dan pepohonan. Seperti spons/busa, hutan tropis menyerap karbondioksida yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fossil sebagai sumber energi.
Kita membutuhkan hutan dengan luasan besar untuk 'meredam' dan melawan perubahan iklim dan menjaga bumi. Tetapi yang terjadi kita melakukan sebaliknya. Kita Menghancurkan Hutan
Pengerusakan hutan menyumbang 20% dari emisi GRK setiap tahun. Dan lebih banyak lagi emisi yang dihasilkan dari seluruh dunia seperti dari mobil, truk, kereta, kapal dan pesawat di 2004.
Di Indonesia, hutan rawa gambut lenyap akibat pembalakan, pengeringan dan di bakar untuk perluasan kelapa sawit. Lahan gambu ini (kadang-kadang hinggakedalaman 12 meter) menyimpan karbon yang sangat besar. Ketika mereka di keringakn dan di bakar akan menjadi sebuah bom karbon, melepaskan hampir dua milliyar ton karbondioksida berbahaya setiap tahun.
Berkat pengundulan hutan dan lahan gambut, Indonesia menjadi negara pencemar polusi ketiga terbesar di dunia setelah Amerika dan Cina. Dari 85% emisi yang dihasilkan Indonesia, emisi bersumber dari penghancuran hutan dan konversi lahan gambut
Di Papua Nugini, sekita 83% dari hutan yang dapat diolah secara kormesial lenyap atau menyusut pada tahun 2021 jika laju pembalakan terus dilakukan (1). Hutan tersisa di papua nugini menyimpan dua kali lipat emisi yang di hasilkan di seluruh yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil di tahun 2004. Penebangan hutan telah melepaskan emisi GRK dan berkontribusi meningkatkan GRK di atmosfir
Apa yang harus kita lakukan
Untuk menghentikan perubahan iklim. Pembalakan dan pengerusakan hutan di hentikan dengan tujuan penghentian pengerusakan hutan tropis duni pada tahun 2015
Melindungi Hutan Alam Terakhir Di Dunia
Di seluruh dunia, hutan-hutan alami sedang dalam krisis. Tumbuhan dan binatang yang hidup didalamnya terancam punah. Dan banyak manusia dan kebudayaan yang menggantungkan hidupnya dari hutan juga sedang terancam. Tapi tidak semuanya merupakan kabar buruk. Masih ada harapan untuk menyelamatkan hutan-hutan ini dan menyelamatkan mereka yang hidup dari hutan.
Hutan purba dunia sangat beragam. Hutan-hutan ini meliputi hutan boreal—jenis hutan pinus yang ada di Amerika Utara, hutan hujan tropis, hutan sub tropis dan hutan magrove. Bersama, mereka menjaga sistem lingkungan yang penting bagi kehidupan di bumi. Mereka mempengaruhi cuaca dengan mengontrol curah hujan dan penguapan air dari tanah. Mereka membantu menstabilkan iklim dunia dengan menyimpan karbon dalam jumlah besar yang jika tidak tersimpan akan berkontribusi pada perubahan iklim.
Hutan-hutan purba ini adalah rumah bagi jutaan orang rimba yang untuk bertahan hidup bergantung dari hutan—baik secara fisik maupun spiritual.
Hutan-hutan ini juga merupakan rumah bagi duapertiga dari spesies tanaman dan binatang di dunia. Yang berarti ratusan ribu tanaman dan pohon yang berbeda jenis dan jutaan serangga—masa depan mereka juga tergantung pada hutan-hutan purba.
Hutan-hutan purba yang menakjubkan ini berada dalam ancaman. Di Brazil saja, lebih dari 87 kebudayaan manusia telah hilang; pada 10 hingga 20 tahun kedepan dunia nampaknya akan kehilangan ribuan spesies tanaman dan binatang. Tapi ada kesempatan terakhir untuk menyelamatkan hutan-hutan ini dan orang-orang serta spesies yang tergantung padanya.
2009/07/22
Taman Nasional Sembilang
Taman Nasional Sembilang merupakan perwakilan hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan hutan riparian (tepi sungai) di Propinsi Sumatera Selatan.
Tumbuhan yang ada di daratan dan perairan dicirikan dengan adanya paku gajah (Acrostichum aureum), nipah (Nypa fruticans), cemara laut (Casuarina equisetifolia), pandan (Pandanus tectorius), waru laut (Hibiscus tiliaceus), nibung (Oncosperma tigillaria), jelutung (Dyera costulata), menggeris (Koompassia excelsa), gelam tikus (Syzygium inophylla), Rhizophora sp., Sonneratia alba, dan Bruguiera gimnorrhiza.
Daerah-daerah pantai/hutan terutama di Sembilang dan Semenanjung Banyuasin merupakan habitat harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus), siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), kucing mas (Catopuma temminckii temminckii), rusa sambar (Cervus unicolor equinus), buaya (Crocodylus porosus), biawak (Varanus salvator), ikan sembilang (Plotusus canius), labi-labi besar (Chitra indica), lumba-lumba air tawar (Orcaella brevirostris), dan berbagai jenis burung.
Ribuan bahkan puluhan ribu burung migran asal Siberia dapat disaksikan di Sembilang yang mencapai puncaknya pada bulan Oktober. Hal ini merupakan atraksi burung migran yang menarik untuk diamati, karena dapat mendengar secara langsung suara gemuruh burung-burung tersebut terbang bersamaan dan menutupi suara debur ombak Selat Bangka.
Jenis burung lainnya yang ada seperti blekok asia (Limnodromus semipalmatus), trinil tutul (Pseudototanus guttifer), undan putih (Pelecanus onocrotalus), bluwok putih (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dara laut sayap putih (Chlidonias leucoptera), dan lain-lain.
Sebelah Barat Laut Taman Nasional Sembilang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Berbak yang berada di Provinsi Jambi.
Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:Semenanjung Banyuasin, Sembilang, Teluk Benawan, Teluk Sekanak, Pulau Betet. Menyelusuri sungai sambil mengamati satwa, mangrove, memancing, mengamati burung-burung migran asal Siberia dan lumba-lumba air tawar
Atraksi budaya di luar taman nasional:
Festival Krakatau pada bulan Juli di Bandar Lampung dan Festival Danau Ranau pada bulan Desember di Oku-Sumatera Selatan.
Musim kunjungan terbaik: bulan Juni s/d Agustus setiap tahunnya.
Cara pencapaian lokasi :Cara pencapaian lokasi: Palembang - Sungsang menggunakan charter kapal motor sekitar dua jam, dan dilanjutkan ke lokasi sekitar dua jam.
Taman Nasional Way Kambas
Taman Nasional Way Kambas merupakan perwakilan ekosistem hutan dataran rendah yang terdiri dari hutan rawa air tawar, padang alang-alang/semak belukar, dan hutan pantai di Sumatera.
Jenis tumbuhan di taman nasional tersebut antara lain api-api (Avicennia marina), pidada (Sonneratia sp.), nipah (Nypa fruticans), gelam (Melaleuca leucadendron), salam (Syzygium polyanthum), rawang (Glochidion borneensis), ketapang (Terminalia cattapa), cemara laut (Casuarina equisetifolia), pandan (Pandanus sp.), puspa (Schima wallichii), meranti (Shorea sp.), minyak (Dipterocarpus gracilis), dan ramin (Gonystylus bancanus).
Taman Nasional Way Kambas memiliki 50 jenis mamalia diantaranya badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), anjing hutan (Cuon alpinus sumatrensis), siamang (Hylobates syndactylus syndactylus); 406 jenis burung diantaranya bebek hutan (Cairina scutulata), bangau sandang lawe (Ciconia episcopus stormi), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), sempidan biru (Lophura ignita), kuau (Argusianus argus argus), pecuk ular (Anhinga melanogaster); berbagai jenis reptilia, amfibia, ikan, dan insekta.
Gajah-gajah liar yang dilatih di Pusat Latihan Gajah (9 km dari pintu gerbang Plang Ijo) dapat dijadikan sebagai gajah tunggang, atraksi, angkutan kayu dan bajak sawah. Pada pusat latihan gajah tersebut, dapat disaksikan pelatih mendidik dan melatih gajah liar, menyaksikan atraksi gajah main bola, menari, berjabat tangan, hormat, mengalungkan bunga, tarik tambang, berenang dan masih banyak atraksi lainnya.
Pusat latihan gajah ini didirikan pada tahun 1985. Sampai saat ini telah berhasil mendidik dan menjinakan gajah sekitar 290 ekor.
Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
Pusat Latihan Gajah Karangsari. Atraksi gajah. Way Kambas. Untuk kegiatan berkemah.Way Kanan. Penelitian dan penangkaran badak sumatera dengan fasilitas laboratorium alam dan wisma peneliti.Rawa Kali Biru, Rawa Gajah, dan Kuala Kambas. Menyelusuri sungai Way Kanan, pengamatan satwa (bebek hutan, kuntul, rusa, burung migran), padang rumput dan hutan mangrove.
Atraksi budaya di luar taman nasional:Festival Krakatau pada bulan Juli di Bandar Lampung.
Musim kunjungan terbaik: bulan Juli s/d September setiap tahunnya.
Cara pencapaian lokasi :
Cara pencapaian lokasi: Bandar Lampung-Metro-Way Jepara menggunakan mobil sekitar dua jam (112 km), Branti-Metro-Way Jepara sekitar satu jam 30 menit (100 km), Bakauheni-Panjang-Sribawono-Way Jepara sekitar tiga jam (170 km), Bakauheni-Labuan Meringgai-Way Kambas sekitar dua jam.
Taman Nasional Berbak
Taman Nasional Berbak merupakan kawasan pelestarian alam untuk konservasi hutan rawa terluas di Asia Tenggara yang belum terjamah oleh eksploitasi manusia. Keunikannya berupa gabungan yang menarik antara hutan rawa gambut dan hutan rawa air tawar yang terbentang luas di pesisir Timur Sumatera.
Jenis tumbuhan di taman nasional antara lain meranti (Shorea sp.), dan berbagai jenis palem. Taman Nasional Berbak terkenal memiliki paling banyak jenis palem tanaman hias di Indonesia. Jenis palem tanaman hias yang tergolong langka antara lain jenis daun payung (Johanesteijmannia altifrons) serta jenis yang baru ditemukan yaitu Lepidonia kingii (Lorantaceae) yang berbunga besar dengan warna merah/ungu.
Ratusan bahkan ribuan burung migran dapat dilihat di taman nasional ini, yang dapat menimbulkan kekaguman apabila burung-burung tersebut terbang secara berkelompok.
Pintu masuk bagian Barat taman nasional ini ditempuh dengan menyelusuri sungai Air Hitam Dalam. Dinamakan Air Hitam Dalam karena warna airnya hitam seperti kopi. Pada waktu air laut surut, kotoran satwa, serasah daun dan lain-lain dari dalam hutan bakau dibawa air sungai tersebut menuju Sungai Batanghari dan terus ke laut.
Taman Nasional Berbak tidak saja dilindungi secara nasional, tetapi juga secara internasional yaitu dengan ditetapkan sebagai Lahan Basah Internasional dalam Konvensi RAMSAR pada tahun 1992.
Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
Air Hitam Dalam. Menyelusuri sungai dan melihat menyaksikan kehidupan tumbuhan/satwa. Air Hitam Dalam merupakan habitat harimau Sumatera.
Simpangkubu. Penelitian atau menjelajahi hutan, pengamatan satwa dan tumbuhan.
Air Hitam Laut. Penelitian atau menjelajahi hutan, pengamatan satwa dan tumbuhan.
Atraksi budaya di luar taman nasional: Parade Budaya pada bulan April di Sungai Batanghari-Muara Bulian, Jambi.
Musim kunjungan terbaik: bulan Maret s/d Novem- ber setiap tahunnya.
Cara pencapaian lokasi : Dari Jambi menyelusuri sungai Batanghari dengan menggunakan speed boat berbelok ke kanan menyelusuri sungai Air Hitam Dalam selama 2,5 – 3 jam, atau langsung ke Nipah Panjang selama 4-5 jam. Dari Nipah Panjang dilanjutkan ke Desa Air Hitam Laut selama 5-8 jam melalui Laut Cina Selatan (perjalanan ke Air Hitam Laut harus melihat cuaca ombak Laut Cina Selatan yang terkenal ganas).
Taman Nasional Siberut
ulau Siberut terletak di lepas pantai Sumatera Barat yang dipisahkan oleh Selat Mentawai dan berjarak kurang lebih 155 km dari kota Padang. Taman Nasional Siberut yang terletak di pulau tersebut, seluas 60% kawasan ditutupi oleh hutan primer Dipterocarpaceae, hutan primer campuran, rawa, hutan pantai, dan hutan mangrove.
Hutan di taman nasional ini relatif masih alami dengan banyaknya pohon-pohon besar dengan tinggi rata-rata 60 meter.
Taman Nasional Siberut memiliki 4 jenis satwa primata yang tidak ditemukan pada daerah-daerah lainnya di dunia (endemik) yaitu bokkoi (Macaca pagensis), lutung mentawai/joja (Presbytis potenziani siberu), bilou (Hylobates klossii), dan simakobu (Nasalis concolor siberu). Selain itu, terdapat 4 jenis bajing yang endemik, 17 jenis satwa mamalia dan 130 jenis burung (4 jenis endemik).
Pulau Siberut termasuk Taman Nasional Siberut adalah salah satu Cagar Biosfir yang ditetapkan UNESCO dalam Program Man and the Biosphere (MAB).
Perjalanan ke dalam kawasan taman nasional belum banyak dilakukan oleh pengunjung dan selama ini obyek utama bagi pengunjung ke Pulau Siberut hanya untuk melihat budaya masyarakat Mentawai yang berada di dalam dan sekitar taman nasional. Dalam banyak hal, masyarakat Mentawai merupakan suku bangsa di Indonesia yang masih sangat tradisional dan sebagian besar menganut kepercayaan animisme. Kegiatan sosialnya dipusatkan di sekitar UMA, yaitu suatu rumah bersama yang berukuran panjang dan dihuni oleh 30 - 80 orang.
Kunjungan ke Taman Nasional Siberut merupakan kombinasi perjalanan mulai dari berperahu, mendayung, berjalan kaki di jalur berlumpur, menikmati keindahan alam hutan tropika termasuk pengamatan tumbuhan/satwa, mandi di air terjun dan mengamati langsung masyarakat asli. Perjalanan tersebut merupakan petualangan yang tidak terlupakan. Perjalanan ke Pulau Siberut, biasanya diatur oleh biro-biro perjalanan dari Padang maupun Bukit Tinggi termasuk fasilitas pemandu wisata.
Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
Madobak, Rokdok, Matotonan, Rorogot, Butui, Teteburuk, Selaoinan dan Mailepet : Menjelajahi hutan, menyelusuri sungai, sumber air panas, air terjun, wisata bahari, pengamatan satwa dan tumbuhan serta wisata budaya (rumah Uma dan tarian religius).
Pantai Sagulubek dan Pantai Masilok. Olahraga berselancar dan menyelam/snorkeling di taman laut/hutan bakau.
Atraksi budaya di luar taman nasional: Festival Gandang Tasa pada bulan Mei, dan Festival Tabuik pada bulan Juni di Padang.
Musim kunjungan terbaik: bulan Januari s/d September setiap tahunnya.
Cara pencapaian lokasi : dari Padang (Muara Padang) ke Muara Siberut/Muara Sikabaluan/Muara Saibi dengan menggunakan kapal laut (3 kali seminggu) pada malam hari, ± 10 jam.
Taman Nasional Gunung Leuser
Taman Nasional Gunung Leuser merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan.
Hampir seluruh kawasan ditutupi oleh lebatnya hutan Dipterocarpaceae dengan beberapa sungai dan air terjun. Terdapat tumbuhan langka dan khas yaitu daun payung raksasa (Johannesteijsmannia altifrons), bunga raflesia (Rafflesia atjehensis dan R. micropylora) serta Rhizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter. Selain itu, terdapat tumbuhan yang unik yaitu ara atau tumbuhan pencekik.
Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di taman nasional antara lain mawas/orangutan (Pongo abelii), siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), rangkong (Buceros bicornis), rusa sambar (Cervus unicolor), dan kucing hutan (Prionailurus bengalensis sumatrana).
Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir. Berdasarkan kerjasama Indonesia-Malaysia, juga ditetapkan sebagai “Sister Park” dengan Taman Negara National Park di Malaysia.
Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
Gurah. Melihat dan menikmati panorama alam, lembah, sumber air panas, danau, air terjun, pengamatan satwa dan tumbuhan seperti bunga raflesia, orangutan, burung, ular dan kupu-kupu.
Bohorok. Tempat kegiatan rehabilitasi orangutan dan wisata alam berupa panorama sungai, bumi perkemahan dan pengamatan burung.
Kluet. Bersampan di sungai dan danau, trekking pada hutan pantai dan wisata goa. Daerah ini merupakan habitat harimau Sumatera.
Sekundur. Berkemah, wisata goa dan pengamatan satwa.
Ketambe dan Suak Belimbing. Penelitian primata dan satwa lain yang dilengkapi rumah peneliti dan perpustakaan.
Gunung Leuser (3.404 m. dpl) dan Gn. Kemiri (3.314 m. dpl). Memanjat dan mendaki gunung.
Arung jeram di Sungai Alas. Kegiatan arung jeram dari Gurah-Muara Situlen-Gelombang selama tiga hari.
Atraksi budaya di luar taman nasional yaitu Festival Danau Toba pada bulan Juni di Danau Toba dan Festival Budaya Melayu pada bulan Juli di Medan.
Musim kunjungan terbaik : bulan Juni s/d Oktober setiap tahunnya.
Cara pencapaian lokasi: Medan-Kutacane berjarak ± 240 km atau 8 jam dengan mobil, Kutacane-Gurah/Ketambe berjarak ± 35 km atau 30 menit dengan mobil, Medan-Bohorok/Bukit Lawang berjarak ± 60 km atau 1 jam dengan mobil, Medan-Sei Betung/Sekundur berjarak ± 150 km atau 2 jam dengan mobil, Medan-Tapaktuan berjarak ± 260 km atau 10 jam dengan mobil.
Taman Nasional Bukit Barisan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan perwakilan dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang terdiri dari tipe vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, hutan pamah tropika sampai pegunungan di Sumatera.
Jenis tumbuhan di taman nasional tersebut antara lain pidada (Sonneratia sp.), nipah (Nypa fruticans), cemara laut (Casuarina equisetifolia), pandan (Pandanus sp.), cempaka (Michelia champaka), meranti (Shorea sp.), mersawa (Anisoptera curtisii), ramin (Gonystylus bancanus), keruing (Dipterocarpus sp.), damar (Agathis sp.), rotan (Calamus sp.), dan bunga raflesia (Rafflesia arnoldi).
Tumbuhan yang menjadi ciri khas taman nasional ini adalah bunga bangkai jangkung (Amorphophallus decus-silvae), bunga bangkai raksasa (A. titanum) dan anggrek raksasa/tebu (Grammatophylum speciosum). Tinggi bunga bangkai jangkung dapat mencapai lebih dari 2 meter.
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan habitat beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), siamang (H. syndactylus syndactylus), simpai (Presbytis melalophos fuscamurina), kancil (Tragulus javanicus kanchil), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Danau Menjukut di taman nasional ini berbatasan langsung dengan laut lepas Samudera Hindia, yang menyerupai kolam renang yang sangat luas dan berada tidak jauh dari garis pantai.
Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
Tampang, Blubuk, Danau Menjukut, Way Sleman, Blimbing. Menjelajahi hutan, wisata bahari, berenang, bersampan, pengamatan tumbuhan (raflesia, bunga bangkai), berkemah, dan menyelusuri sungai.
Sukaraja Atas. Menjelajahi hutan, berkemah, pengamatan satwa/tumbuhan (bunga bangkai jangkung).
Suwoh. Bersampan, berenang, sumber air panas, menjelajahi hutan dan berkemah
Kubu Perahu. Menjelajahi hutan, air terjun, pengamatan satwa/tumbuhan dan berkemah.
Atraksi budaya di luar taman nasional:Festival Krakatau pada bulan Juli di Bandar Lampung dan Festival Danau Ranau pada bulan Desember di Oku-Sumatera Selatan.
Musim kunjungan terbaik: bulan Januari s/d Agustus setiap tahunnya.
Cara pencapaian lokasi :Teluk Betung-Tanjung Karang-Kota Agung menggunakan mobil, Kota Agung-Tampang menggunakan kapal motor sekitar enam jam, Kota Agung-Banjarnegoro-Sukaraja Atas/Suwoh menggunakan mobil sekitar empat jam, dan Kota Agung-Kubu Perahu menggunakan mobil sekitar tujuh jam.
Taman Nasional Gunung Halimun
Berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) 40.000 ha. sejak tahun 1935, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 ha. di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Selanjutnya pada Tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP, dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, Departeman Kehutanan.
Atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitarnya terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas. Ditetapkanlah SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Berdasarkan SK tersebut penunjukan luas kawasan TNGHS adalah 113,357 ha dan terletak di Propinsi Jawa Barat dan Banten meliputi Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Dimana, saat ini TNGHS merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Jawa.
Dilihat dari bentuk kawasannya, Taman Nasional Gunung Halimun Salak berbentuk seperti bintang atau jemari, sehingga batas yang mengelilingi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak menjadi lebih panjang. Pengelolaan kawasan seperti ini lebih sulit dibandingkan dengan pengelolaan kawasan yang berbentuk relatif bulat. Apalagi didalamnya terdapat beberapa enclave perkebunan, pemukiman masyarakat tradisional serta beberapa aktivitas pertambangan emas, pembangkit energi listrik panas bumi dan pariwisata massal.
Konon, banyak para petani tradisional maupun pendatang sudah tinggal sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai areal konservasi. Sehingga menjadi tantangan bagi pengelola, para pihak dan masyarakat lokal dalam mengembangkan model pengelolaan kawasan TNGHS yang lebih kolaboratif dan berkelanjutan di masa depan.
2009/06/04
Gunung Api Raksasa Ditemukan di Barat Bengkulu
JAKARTA -- Keluarga gunung berapi di Indonesia bertambah satu dengan ditemukannya gunung api raksasa (giant volcano) di bawah laut. Gunung api yang terdeteksi secara tak sengaja itu berada di perairan barat Pulau Sumatra, sekitar 330 kilometer ke arah barat dari Kota Bengkulu di Samudra Hindia.
Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (PTISDA) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Yusuf S Djajadihardja, memperkirakan, gunung api ini memiliki ketinggian kurang lebih 4.600 meter pada kedalaman 5.900 meter.
Puncak gunung api ini berada pada kedalaman 1.280 meter dari permukaan air laut. ''Gunung api ini sangat besar dan tinggi, dengan lebar sekitar 50 kilometer,'' kata Yusuf saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (28/5).
Tidak mustahil, terang Yusuf, gunung yang berlokasi di Palung Sunda itu merupakan gunung tertinggi yang dimiliki Indonesia. Sebagai perbandingan, pegunungan Jayawijaya di Papua hanya berketinggian sekitar 4.000 meter.
Menurut Yusuf, gunung ini memiliki kaldera, yang menandakan gunung tersebut sebagai gunung api. Kendati, dia belum bisa memastikan tingkat keaktifannya. ''Bagaimanapun, gunung api bawah laut sangat berbahaya jika meletus,'' katanya.
Namun, bagaimana data lebih rinci gunung tersebut, Yusuf mengaku belum bisa berkomentar banyak. ''Kami belum dapat memberi keterangan lebih lanjut, karena perlu kajian lebih jauh.''
Gunung api bawah laut itu terdeteksi tanpa sengaja, ungkap Yusuf, ketika BPPT, LIPI, Departemen ESDM, CGGVeritas, dan IPG (Institut de Physique du Globe) Paris melakukan survei 'Studi Risiko Kegempaan dan Tsunami' di perairan barat Sumatra.
Riset kelautan itu dilakukan dengan menggunakan metode Seismik Refleksi. Survei dilakukan sepanjang Mei 2009 selama 20 hari menggunakan kapal seismik Geowave Champion canggih milik CGGVeritas.
Selain mendeteksi adanya gunung api baru, survei juga berhasil memperoleh gambaran profil struktur geologi dalam (deep geological structures) di daerah perairan barat Sumatra. Salah satunya ditemukan sebuah patahan yang amat luas di cekungan busur muka (fore-arc basin) di daerah perairan Sumatra.
''Para peneliti memprediksi, mungkin saja patahan ini berpotensi tsunami bila terjadi gempa dengan hanya enam skala Richter. Tapi, ini masih perlu penelitian lebih lanjut,'' kata Yusuf.
Namun, dia mengakui, wilayah di perairan Sumatra memang rentan terjadinya tsunami. Bahkan, katanya, terdapat sebuah ramalan ilmiah yang memperkirakan, pada sekitar tahun 2030, di wilayah ini kemungkinan besar bakal terjadi sebuah patahan mega besar.
Luas patahan di bawah laut itu, diprediksi, sebesar kota Padang. Walaupun demikian, lanjutnya, sejatinya tidak ada satu orang ahli pun dapat memastikan, kapan waktu terjadinya mega patahan itu.
''Semua ahli sepakat, dalam jangka panjang, mega patahan yang ditakutkan ini pasti terjadi, suatu hari nanti,'' ungkapnya.
Pertama di dunia
Survei itu merupakan yang pertama di dunia karena menggunakan streamer terpanjang yang pernah dilakukan oleh kapal seismik. Kapal milik CGGVeritas itu memang dilengkapi peralatan multichannel seismik refleksi dengan panjang streamer sercel sentinel solid mencapai 15 kilometer.
''Ini merupakan survei pertama di dunia yang menggunakan streamer terpanjang yang pernah dilakukan kapal survei seismik,'' ungkap Yusuf.
Tujuan dari survei tersebut, jelasnya, adalah untuk mengetahui struktur geologi dalam, meliputi Palung Sunda, Prisma Akresi, Tinggian Busur Luar (Outer Arc High), dan Cekungan Busur Muka (Fore Arc Basin) di perairan Sumatra.
Berkenaan dengan metode survei, Yusuf menjelaskan, kurang lebih 1.700 kilometer multichanel seismik refleksi data dengan penetrasi mencapai kedalaman 50 kilometer (deep seismic). Survei ini dilakukan selama Mei 2009, dengan menggunakan kapal seismik Geowave Champion.
Profesor dari IPG Paris, Satish Singh, menambahkan, tujuan dari survei ini juga sebagai panduan untuk membuat peta risiko kegempaan dan tsunami. Pemilihan wilayah perairan Sumatra, ungkapnya, memiliki alasan lantaran wilayah Mentawai merupakan daerah yang terkunci secara tektonik.
''Wilayah ini, berpotensi besar untuk terjadinya gempa besar yang berujung pada terjadinya tsunami,'' jelasnya.
Sejak kejadian gempa dan tsunami pada akhir 2004 dan gempa-gempa besar susulan lainnya, banyak perubahan struktur di kawasan perairan Sumatra yang menarik minat banyak peneliti asing.
Tim ahli dari Indonesia, Amerika Serikat, dan Prancis kemudian bekerja sama memetakan struktur geologi. Bentuk penelitiannya untuk memahami secara lebih baik, sumber dan mekanisme gempa pemicu tsunami menggunakan citra seismik dalam (deep seismic image).
Indonesia memang sebagai salah satu negara pemilik gunung api terbanyak. Gunung-gunung api di Indonesia adalah gunung-gunung api teraktif di Pacific ring of fire atau cincin api Pasifik.
Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40 ribu kilometer. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik. Sekitar 90 persen dari gempa bumi yang terjadi dan 81 persen dari gempa bumi terbesar, terjadi di sepanjang cincin api ini.
2009/04/29
Fungsi Ekologis Hutan Lindung Tidak Mungkin Tergantikan
Jakarta, Kompas - Kawasan hutan lindung yang dibuka untuk kegiatan pertambangan tidak mungkin tergantikan. Meskipun secara teknis dapat direklamasi dan direhabilitasi untuk mengembalikannya menjadi hutan lindung, fungsi ekologisnya tidak mungkin dikembalikan seperti kondisi semula.
Demikian terungkap dalam persidangan lanjutan hak uji materi (judicial review) Undang-Undang (UU) No 19/2004 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU No 1/2004 tentang Perubahan atas UU No 41/1999 tentang Kehutanan menjadi UU, di Mahkamah Konstitusi, Selasa (19/4). UU No 19/2004 itu memberi peluang kepada 13 perusahaan pertambangan melanjutkan kegiatannya di hutan lindung.
Pemohon yang terdiri dari 92 orang dari berbagai lapisan masyarakat mengajukan tiga ahli untuk didengar keterangannya dalam persidangan tersebut, masing-masing Dr Hariadi Kartodihardjo dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir Eko Teguh Paripurno MT dari Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, dan mantan Menteri Kehutanan Dr Ir Muslimin Nasution APU.
Menurut Hariadi, suatu kawasan hutan lindung yang telah ditambang secara terbuka tidak mungkin dikembalikan kepada fungsi ekologis semua karena telah terjadi perubahan bentang alam. "Hal yang dapat dilakukan adalah menghutankan kembali kawasan tersebut dengan teknologi terbaik yang tersedia," katanya.
Tak tergantikan
Ia juga mengemukakan bahwa suatu kawasan hutan lindung yang dieksploitasi tidak mungkin digantikan oleh kawasan lain. Menurut dia, prinsip tukar guling pada kawasan hutan lindung hanya sekadar mempertahankan agar masih ada hutan yang tersisa. Akan tetapi sama sekali tidak mengembalikan fungsi ekologis yang hilang.
Hariadi mengilustrasikan, jika fungsi hutan di kawasan Puncak dialihkan ke tempat lain, misalnya Cianjur atau Sukabumi, maka tidak akan ada manfaat lagi bagi Jakarta. Sebab, hutan yang dialihkan itu bermanfaat pada daerah aliran sungai di daerah tersebut.
"Jadi, fungsi lingkungan dari sebuah sumber daya alam sebenarnya tidak pernah bisa dialihkan ketika kita hendak melindungi sebuah kawasan dari dampak negatif degradasi fungsi lingkungan itu. Sekalipun penggantinya itu luasannya sampai lima kali lipat, tetap saja fungsinya tidak tergantikan," papar Hariadi, yang mengajar mata kuliah ekonomi sumber daya hutan dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Degradasi fungsi hutan akan mengakibatkan berbagai bencana, seperti banjir, longsor, pendangkalan waduk, kekeringan, dan sebagainya. Menurut Eko, bencana yang diakibatkan oleh kerusakan hutan oleh kegiatan pertambangan tidak hanya bencana alam, melainkan bencana sosial akibat hilangnya aset hidup yang seharusnya diperoleh masyarakat setempat.
Untuk generasi berikut
Muslimin berpendapat, masalah hutan tidak dapat dilihat secara rasional sebab hutan penuh dengan nilai. Hutan adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan manusia karena merupakan sistem penunjang kehidupan.
"Oksigen, air, obat-obatan, dan sebagainya, semua berasal dari hutan," tuturnya.
Menurut Muslimin, hutan merupakan sumber daya yang tidak terbarukan sehingga harus dipikirkan keberlanjutannya untuk generasi berikutnya.
"Masih ada generasi yang akan datang yang harus menikmati hutan, tidak harus dihabisi sekarang. Karena itu, dalam undang-undang kehutanan ketika itu, setiap investor di sektor kehutanan harus menyisihkan sebagian sahamnya kepada penduduk di dalam dan di sekitar hutan," jelasnya.
Ia mengemukakan bahwa undang-undang yang dibuat pada masa tahun 1960-an sangat terkait dengan kondisi negara yang membutuhkan investasi dan kepercayaan dari luar negeri. Pada masa itu Indonesia memang dalam kondisi ekonomi yang sangat parah.
"Undang-Undang No 5/1967 yang mendahului Undang-Undang No 41/1999 waktu itu hanya menekankan bagaimana dengan cepat mendapatkan investasi luar negeri tanpa memperhatikan risiko kerusakan lingkungan," ungkapnya.
Ia menambahkan, pada tahun 1978 baru muncul keresahan, ditandai dengan munculnya slogan forest for the people, akibat kehancuran hutan secara besar-besaran. Berdasarkan kenyataan itu, kata Muslimin, pemerintah akhirnya membekukan sejumlah perizinan di sektor kehutanan untuk menghentikan penghancuran besar-besaran dan pengkaplingan hutan oleh kalangan tertentu. (LAM)
Demikian terungkap dalam persidangan lanjutan hak uji materi (judicial review) Undang-Undang (UU) No 19/2004 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU No 1/2004 tentang Perubahan atas UU No 41/1999 tentang Kehutanan menjadi UU, di Mahkamah Konstitusi, Selasa (19/4). UU No 19/2004 itu memberi peluang kepada 13 perusahaan pertambangan melanjutkan kegiatannya di hutan lindung.
Pemohon yang terdiri dari 92 orang dari berbagai lapisan masyarakat mengajukan tiga ahli untuk didengar keterangannya dalam persidangan tersebut, masing-masing Dr Hariadi Kartodihardjo dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir Eko Teguh Paripurno MT dari Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, dan mantan Menteri Kehutanan Dr Ir Muslimin Nasution APU.
Menurut Hariadi, suatu kawasan hutan lindung yang telah ditambang secara terbuka tidak mungkin dikembalikan kepada fungsi ekologis semua karena telah terjadi perubahan bentang alam. "Hal yang dapat dilakukan adalah menghutankan kembali kawasan tersebut dengan teknologi terbaik yang tersedia," katanya.
Tak tergantikan
Ia juga mengemukakan bahwa suatu kawasan hutan lindung yang dieksploitasi tidak mungkin digantikan oleh kawasan lain. Menurut dia, prinsip tukar guling pada kawasan hutan lindung hanya sekadar mempertahankan agar masih ada hutan yang tersisa. Akan tetapi sama sekali tidak mengembalikan fungsi ekologis yang hilang.
Hariadi mengilustrasikan, jika fungsi hutan di kawasan Puncak dialihkan ke tempat lain, misalnya Cianjur atau Sukabumi, maka tidak akan ada manfaat lagi bagi Jakarta. Sebab, hutan yang dialihkan itu bermanfaat pada daerah aliran sungai di daerah tersebut.
"Jadi, fungsi lingkungan dari sebuah sumber daya alam sebenarnya tidak pernah bisa dialihkan ketika kita hendak melindungi sebuah kawasan dari dampak negatif degradasi fungsi lingkungan itu. Sekalipun penggantinya itu luasannya sampai lima kali lipat, tetap saja fungsinya tidak tergantikan," papar Hariadi, yang mengajar mata kuliah ekonomi sumber daya hutan dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Degradasi fungsi hutan akan mengakibatkan berbagai bencana, seperti banjir, longsor, pendangkalan waduk, kekeringan, dan sebagainya. Menurut Eko, bencana yang diakibatkan oleh kerusakan hutan oleh kegiatan pertambangan tidak hanya bencana alam, melainkan bencana sosial akibat hilangnya aset hidup yang seharusnya diperoleh masyarakat setempat.
Untuk generasi berikut
Muslimin berpendapat, masalah hutan tidak dapat dilihat secara rasional sebab hutan penuh dengan nilai. Hutan adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan manusia karena merupakan sistem penunjang kehidupan.
"Oksigen, air, obat-obatan, dan sebagainya, semua berasal dari hutan," tuturnya.
Menurut Muslimin, hutan merupakan sumber daya yang tidak terbarukan sehingga harus dipikirkan keberlanjutannya untuk generasi berikutnya.
"Masih ada generasi yang akan datang yang harus menikmati hutan, tidak harus dihabisi sekarang. Karena itu, dalam undang-undang kehutanan ketika itu, setiap investor di sektor kehutanan harus menyisihkan sebagian sahamnya kepada penduduk di dalam dan di sekitar hutan," jelasnya.
Ia mengemukakan bahwa undang-undang yang dibuat pada masa tahun 1960-an sangat terkait dengan kondisi negara yang membutuhkan investasi dan kepercayaan dari luar negeri. Pada masa itu Indonesia memang dalam kondisi ekonomi yang sangat parah.
"Undang-Undang No 5/1967 yang mendahului Undang-Undang No 41/1999 waktu itu hanya menekankan bagaimana dengan cepat mendapatkan investasi luar negeri tanpa memperhatikan risiko kerusakan lingkungan," ungkapnya.
Ia menambahkan, pada tahun 1978 baru muncul keresahan, ditandai dengan munculnya slogan forest for the people, akibat kehancuran hutan secara besar-besaran. Berdasarkan kenyataan itu, kata Muslimin, pemerintah akhirnya membekukan sejumlah perizinan di sektor kehutanan untuk menghentikan penghancuran besar-besaran dan pengkaplingan hutan oleh kalangan tertentu. (LAM)
2009/04/16
2100 Bumi Akan Panas Sekali
COLORADO, KOMPAS.com — Ancaman pemanasan global masih dapat dihilangkan dalam jumlah sangat besar jika semua negara memangkas buangan gas rumah kaca, yang memerangkap panas, sampai 70 persen pada abad ini, demikian hasil satu analisis baru.
Meskipun temperatur global akan naik, sebagian aspek perubahan iklim yang paling berpotensi menimbulkan bahaya terhadap, termasuk kehilangan besar es laut Kutub Utara dan tanah beku serta kenaikan mencolok permukaan air laut, dapat dihindari.
Studi tersebut, yang dipimpin oleh beberapa ilmuwan dari National Center for Atmospheric Research (NCAR), direncanakan disiarkan pekan depan di dalam Geophysical Research Letters. Penelitian itu didanai oleh Department of Energy dan National Science Foundation, penaja NCAR.
"Penelitian ini menunjukkan kita tidak lagi dapat menghindari pemanasan mencolok selama abad ini," kata ilmuwan NCAR Warren Washington, pemimpin peneliti tersebut.
Temperatur rata-rata global telah bertambah hangat mendekati 1 derajat celsius (hampir 1,8 derajat fahrenheit) sejak era pra-industri. Kebanyakan pemanasan disebabkan oleh buangan gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, terutama karbon dioksida.
Gas yang memerangkap panas itu telah naik dari tingkat era pra-industri sekitar 284 bagian per juta (ppm) di atmosfer jadi lebih dari 380 ppm hari ini.
Sementara penelitian tersebut memperlihatkan bahwa pemanasan tambahan sebesar 1 derajat celsius (1,8 derajat fahrenheit) mungkin menjadi permulaan bagi perubahan iklim yang berbahaya, Uni Eropa telah menyerukan pengurangan dramatis buangan gas karbon dioksida dan gas rumah kaca. Kongres AS juga sedang membahas masalah itu.
Guna mengkaji dampak pengurangan semacam itu terhadap iklim di dunia, Washington dan rekannya melakukan kajian superkomputer global dengan menggunakan Community Climate System Model, yang berpusat di NCAR.
Mereka berasumsi, tingkat karbon dioksida dapat dipertahankan pada angka 450 ppm pada penghujung abad ini. Jumlah tersebut berasal dari US Climate Change Science Program, yang telah menetapkan 450 ppm sebagai sasaran yang bisa dicapai jika dunia secara cepat menyesuaikan tindakan pelestarian dan teknologi hijau baru guna mengurangi buangan gas secara dramatis.
Sebaliknya, buangan gas sekarang berada di jalur menuju tingkat 750 ppm paling lambat pada 2100 jika tak dikendalikan.
Hasil tim tersebut memperlihatkan kalau karbon dioksida ditahan pada tingkat 450 ppm, temperatur global akan naik sebesar 0,6 derajat celsius (sekitar 1 derajat fahrenheit) di atas catatan saat ini sampai akhir abad ini.
Sebaliknya, studi itu memperlihatkan, temperatur akan naik hampir sebesar empat kali jumlah tersebut, jadi 2,2 derajat celsius (4 derajat fahrenheit) di atas catatan saat ini, kalau buangan gas dibiarkan terus berlanjut di jalurnya saat ini.
Menahan tingkat karbon dioksida pada angka 450 ppm akan memiliki dampak lain, demikian perkiraan studi contoh iklim itu.
Kenaikan permukaan air laut akibat peningkatan panas karena temperatur air menghangat akan menjadi 14 sentimeter (sekitar 5,5 inci) dan bukan 22 sentimeter (8,7 inci). Kenaikan mencolok permukaan air laut diperkirakan akan terjadi karena pencairan lapisan es dan gletser.
Volume es Kutub Utara pada musim panas menyusut sebanyak seperempat dan diperkirakan akan stabil paling lambat pada 2100. Suatu penelitian telah menyatakan, es musim panas akan hilang sama sekali pada abad ini jika buangan gas tetap pada tingkat saat ini.
Pemanasan Kutub Utara akan berkurang separuhnya sehingga membantu melestarikan populasi ikan dan burung laut serta hewan mamalia laut di wilayah seperti di bagian utara Laut Bering.
Perubahan salju regional secara mencolok, termasuk penurunan salju di US Southwest dan peningkatan di US Norhteast serta Kanada, akan berkurang sampai separuh kalau buangan gas dapat dipertahankan pada tingkat 450 ppm.
Sistem cuaca itu akan stabil sampai sekitar 2100, dan bukan terus menghangat. Tim penelitian tersebut menggunakan simulasi superkomputer guna membandingkan skenario peristiwa biasa melalui pengurangan dramatis buangan karbon dioksida yang dimulai dalam waktu sekitar satu dasawarsa.
Penulis kajian tersebut menegaskan, mereka tidak mengkaji bagaimana pengurangan seperti itu dapat dicapai atau menyarankan kebijakan tertentu.
"Tujuan kami ialah menyediakan bagi pembuat kebijakan penelitian yang sesuai sehingga mereka dapat membuat keputusan setelah mendapat keterangan," kata Washington.
"Studi ini menyediakan suatu harapan bahwa kita dapat menghindari dampak terburuk perubahan iklim, jika masyarakat dapat mengurangi buangan dalam jumlah besar selama beberapa dasawarsa mendatang dan melanjutkan pengurangan utama sepanjang abad ini."
2009/04/14
HUTAN PELUANG DAN HARAPAN
A. REBOISASI DAN REHABILITASI
Dewasa ini dan ke depan, kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan merupakan aspek penting yang harus dilaksanakan guna mempertahankan produktifitas sumber daya hutan secara berkelanjutan. Hal ini mengingat luas lahan kritis yang ada di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah sudah mencapai angka yang memprihatinkan yakni mencapai areal seluas 4.331.092 Ha, yang terdiri dari lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 2.815.803 Ha dan lahan kritis di luar kawasan hutan seluas 1.515.389 Ha.
Dalam rangka melaksanakan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dan hutan tersebut selama ini dan untuk selanjutnya dilaksanakan melalui beberapa program atau kegiatan secara simultan, baik yang dilaksanakan secara mandiri dan terintegrasi dengan kegiatan pengusahaan hutan oleh pemegang HPH/HPHTI maupun melalui proyek-proyek pembangunan, sebagai berikut :
1. Melalui Sistem Silvikultur TPTI
Dalam sistem silvikultur TPTI tanggung jawab untuk mempertahankan dan meningkatkan produktifitas hutan oleh pemegang HPH secara jelas dan tegas telah diatur dalam 11 (sebelas) tahapan TPTI, yakni sejak tahapan yang ke-5 dan seterusnya yang juga dikenal sebagai kegiatan pembinaan hutan, yang dapat pula diartikan sebagai kegiatan rehabilitasi kawasan hutan di dalam areal kerja HPH. Disamping itu, penerapan selective cutting atau pembatasan limit diameter pohon yang boleh ditebang secara langsung atau tidak langsung juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya-upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan produktifitas hutan.
Secara nyata implementasi kegiatan rehabilitasi kawasan hutan dengan sistem silvikultur TPTI tersebut oleh para pemegang HPH berupa :
a)Kegiatan perkayaan; merupakan kegiatan penanaman permudaan alam setempat dengan maksud memperkaya struktur tegakan dan potensinya dengan membuat jalur-jalur tanam di areal-areal tertentu di dalam blok-blok kerja HPH yang diidentifikasi memiliki potensi kurang atau bahkan tidak potensial (£ 20 M3/Ha), dengan jarak tanam setiap interval 5 meter.
b)Kegiatan penanaman; yakni kegiatan penanaman permudaan alam setempat maupun jenis pendatang (fast growing species) pada lokasi-lokasi tanah kosong, bekas jalan sarad, bekas base camp, bekas TPK/TPn, dan lain-lain di dalam areal kerja HPH.
Adapun realisasi pelaksanaan sistem silvikultur TPTI oleh para pemegang HPH dalam 2 (dua) tahun terakhir ini berturut-turut mencapai 91,63 % untuk tahun RKT-PH 1999/2000 dan 82,50 % untuk tahun RKT-PH 2000.
Prosentase pencapaian realisasi TPTI tersebut memang relatif cukup besar atau dapat dilkatakan bahwa implementasi pelaksanaan TPTI oleh para pemegang HPH berjalan cukup baik, setidaknya menurut data yang dihimpun dari Laporan Bulanan perusahaan HPH. Namun hal tersebut tampaknya tidak sinkron dengan kenyataan di lapangan, dimana potensi per satuan luas kawasan hutan produksi yang cenderung terus menerus mengalami penurunan (terdegradasi) dari tahun ke tahun. Semestinya apabila TPTI dilaksanakan secara benar di lapangan tentu akan berimplikasi pada meningkatnya produktifitas tegakan termasuk berlangsungnya proses regenerasi hutan secara normal atau terjadi suksesi hutan.
Oleh karena itu, evaluasi terhadap pelaksanaan sistem silvikultur TPTI hendaknya tidak semata-mata melihat data pencapaian realisasi terhadap target kegiatannya, tetapi juga dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap tingkat keberhasilan dari parameter-parameter yang terealisasi tersebut.
Misalnya, menurut laporan perusahaan telah dilaksanakan penanaman/ pengayaan sejumlah 90.000 anakan di areal kerjanya dari target 100.000 anakan atau realisasi 90 %. Yang perlu dikaji dan dievaluasi adalah justru seberapa banyak dari 90.000 anakan tersebut yang berhasil tumbuh normal untuk mencapai tingkatan-tingkatan pertumbuhan tegakan, mulai dari berapa yang mampu tumbuh mencapai tingkat semai (seedling), tingkat sapihan (sapling), tingkat tiang (pole) dan yang mencapai tingkat pohon (tree) pengganti tegakan yang ditebang. Jadi yang dilihat dan dinilai bukanlah angka 90 %-nya itu semata-mata.
2. Melalui Sistem Silvikultur TPTJ
Disamping sistem silvikultur TPTI, beberapa tahun belakangan salah satu sistem silvikultur yang juga diterapkan dalam kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah adalah sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ).
Hakekat penerapan sistem silvikultur TPTJ pada dasarnya adalah untuk mengantisipasi menurunnya potensi tegakan per satuan hektar pada rotasi kedua pengusahaan hutan sekaligus menerapkan fungsi rehabilitasi atas seluruh areal bekas tebangan di dalam areal kerja HPH yang bersangkutan berdasarkan aturan-aturan teknis yang tertuang dalam buku RKT-PH.
Penurunan limit diameter yang boleh ditebang (dibandingkan dengan TPTI) yakni menjadi Æ 40 cm up memang dapat mendongkrak produksi per satuan hektar HPH yang bersangkutan. Pada sisi lain, intensifnya kegiatan penaman pada setiap jalur tanam dalam TPTJ merupakan hal yang cukup menjanjikan dalam meningkatkan produktifitas hutan produksi alam.
Di Kalimantan Tengah saat ini terdapat 11 (sebelas) unit HPH yang menerapkan sistem silvikultur TPTJ, terdiri dari :
- 4 (empat) unit HPH Murni
- 7 (tujuh) unit HPH Penugasan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan yang dikelola oleh BUMN PT. INHUTANI III.
Dalam penerapan sistem silvikultur TPTJ ini khususnya pada daerah-daerah yang bertopografi bergelombang hingga berbukit (umumnya HPT), diperlukan kehati-hatian ekstra guna menghindari dampak sampingan yang mungkin ditimbulkan, seperti bahaya erosi atau longsor. Bahkan untuk areal-areal HPH dengan karakteristik topografi yang demikian perlu dipertimbangkan layak tidaknya penerapan sistem silvikultur TPTJ, sama halnya dengan kondisi pada hutan rawa.
Penurunan batas diameter pohon yang boleh ditebang hingga diameter 40 cm memiliki konsekuensi akan semakin banyak jumlah pohon (N) yang ditebang guna mengejar perolehan volume (V) per satuan hektarnya. Hal itu berarti faktor permudaan atau penanaman pada jalur-jalur tanam yang dibuat hendaknya betul-betul diperhitungkan baik dari kuantitas maupun kualitas tanaman sehingga keseimbangan tegakan hutan tetap dapat terpelihara. Artinya, N yang dipungut harus minimal sebanding dengan N yang ditanam dengan memperhatikan faktor keberhasilan tumbuh normal (N++).
3. Hutan Tanaman Industri (HTI)
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan bentuk lain dari upaya melakukan rehabilitasi lahan di dalam kawasan hutan sebagai hutan tanaman. Sepanjang pembangunan HTI tersebut dilaksanakan pada kawasan hutan yang memang tidak produktif lagi, maka setidaknya akan tercipta 2 (dua) manfaat utama dari program tersebut, yakni :
Rehabilitasi lahan tidak produktif menjadi areal produktif yang mempengaruhi aspek ketahanan lahan (faktor edaphis) dan ketahanan hidro-orologis.
Peningkatan produktifitas lahan yang menghasilkan produksi kayu sebagai penghara industri dari hutan monokultur yang dibangun.
Pembangunan HTI di Kalimantan Tengah telah berlangsung sejak tahun 1992, hingga sekarang terdapat sebanyak 21 unit HPHTI meliputi areal seluas 359.690 Ha, yang terdiri dari :
- HTI Trans sebanyak 15 unit = 158.995 Ha
- HTI Murni sebanyak 5 unit = 108.545 Ha
- HTI Pulp sebanyak 1 unit = 92.150 Ha.
Apabila dilihat dari lamanya kegiatan pembangunan HTI di Kalimantan Tengah, yakni sejak tahun 1992, hal itu berarti setelah 9 tahun berjalan (tahun 2001 ini) semestinya sudah memasuki masa panen mengingat jenis-jenis tanaman yang dikembangkan dalam HTI umumnya adalah dari kelompok jenis tanaman yang cepat tumbuh dengan daur pendek atau fast growing species. Namun kenyataannya adalah bahwa hingga sekarang belum ada perusahaan HTI yang memasuki masa panen terhadap tanaman yang mereka tanam.
Ditinjau dari segi jumlah unit HTI yang dibangun dan luasnya areal HTI yang mencapai 359.690 Ha tersebut, disamping Pemerintah Propinsi dan Kabupaten, Pemerintah Pusat sangat diharapkan dukungannya secara nyata dalam pembangunan industri pulp dan kertas di daerah dengan jalan menyerahkan kewenangan perijinan industri kehutanan sepenuhnya kepada daerah. Kebutuhan tersebut setidaknya 3 tahun ke depan sudah dapat terealisasi mengingat produksi kayu dari areal HTI yang cukup luas tersebut dimana daur tanaman HTI yang dikembangkan berkisar rata-rata 12 tahun.
4. Melalui Proyek Pembangunan
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan produktifitas lahan, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, selain yang dilaksanakan oleh para pemegang HPH dan HPHTI yang terintegrasi dengan kegiatan pengusahaan hutan di dalam areal kerjanya, juga dilaksanakan melalui proyek-proyek pembangunan, baik dengan sumber dana APBD (Proyek Bantuan Reboisasi) maupun sumber dana Pusat (DAK-DR).
Proyek Bantuan Reboisasi (APBD) dalam tahun 2000 dilaksanakan tersebar di 5 (lima) Kabupaten/Kota dengan jumlah angaraan seluruhnya sebesar Rp. 150.000.000,- dengan realisasi sebesar Rp. 148.425.000,- (98,95 %).
Untuk tahun-tahun yang akan datang, pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan dan kawasan hutan secara khusus mendapat alokasi anggaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi 40 % (DAK-DR 40 %).
Mekanisme pengalokasian dan penganggaran DAK-DR 40 % tersebut mengacu pada surat Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan cq. Kepala Biro Perencanaan No. 1120/II/REN/2001 tanggal 30 Mei 2001. Berdasarkan pedoman yang ditetapkan tersebut, alokasi DAK-DR 40 % untuk setiap Kabupaten/Kota didasarkan pada 8 (delapan) kriteria, yaitu :
a) Proyeksi penerimaan DR masing-masing Kabupaten/Kota
b) Luas lahan kritis
c) Tingkat kekritisan ekosistem DAS/Sub DAS (DAS prioritas)
d) Jumlah desa tertinggal
e) Jumlah penduduk pra sejahtera
f) Jumlah pegawai di bidang kehutanan
g) Kepadatan penduduk agraris
h) Pelaksanaan kegiatan penghijauan/reboisasi pada tahun-tahun lampau.
Program-program rehabilitasi yang telah disusun memanfaatkan sumber dana DAK-DR 40 % tersebut meliputi :
a) Rehabilitasi di dalam Kawasan Hutan :
b) Rehabilitasi Hutan Produksi di dalam areal HPH
c) Rehabilitasi Hutan Produksi di luar areal HPH
d) Rehabilitasi Hutan Produksi eks HPH
e) Rehabilitasi hutan dan lahan di luar Kawasan Hutan
f) Rehabilitasi hutan dan lahan eks PLG
g) Rehabilitasi Kawasan Hutan Mangrove
h) Rehabilitasi Kawasan Hutan Lindung
i) Rehabilitasi lahan eks Tambang Rakyat
Melalui program-program reboisasi dan rehabilitasi lahan dan hutan sebagaimana dikemukakan di atas harapan yang paling mendasar tentunya adalah terpeliharanya kualitas dan kuantitas sumber daya hutan dan lahan yang produktif dan mampu memberikan manfaat secara lestari bagi pembangunan dan masyarakat. Di sisi lain, adanya program-program tersebut tentu berimplikasi pada pembukaan lapangan kerja baru kepada masyarakat khususnya masyarakat setempat yang selama ini hidup dan mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam hutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa partisipasi masyarakat merupakan kata kunci dari keberhasilan program reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan.
Dengan pemahaman yang demikian, maka secara khusus dalam hal pelaksanaan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan yang dibiayai dengan sumber dana DAK-DR 40 % dengan alokasi dana yang direncanakan cukup besar, dalam pelaksanaannya di-tender-kan kepada masyarakat luas, dimana masyarakat setempat harus dilibatkan secara pro-aktif sejak dari tahapan perencanaan kegiatan hingga operasional di lapangan.
Bahwa demi tercapainya sasaran dan tujuan dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak dapat dipandang hanya dari segi teknis operasional semata-mata (pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dll) tetapi lebih merupakan satu kesatuan dengan hal-hal yang terkait dengan kegiatan pra kondisi lapangan seperti penelitian dan pengembangan (litbang), peningkatan kualitas SDM melalui kegiatan pelatihan bahkan kegiatan pemantauan dan evaluasi pelaksanaannya juga akan sangat menentukan tingkat keberhasilan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan rahabilitasi hutan dan lahan. Oleh karena itu, dalam hal penggunaan alokasi DAK-DR 40 % harus mencakup semua aspek kegiatan tersebut, dimana setidaknya 5 – 10 % dari alokasi DAK-DR 40 % yang merupakan bagian Daerah Penghasil dialokasikan secara khusus untuk kegiatan-kegiatan penelitian, pelatihan dan pemantauan - evaluasi sepanjang terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan yang pengelolaannya terpusat di Propinsi.
B.PENINGKATAN PRODUKTIFITAS PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN
Selama lebih dari tiga dekade yang lalu bahkan hingga sekarang ukuran produktifitas pemanfaatan sumber daya alam hutan umumnya selalu menggunakan parameter kubikasi produksi kayu dari suatu luasan tertentu, disamping beberapa produk hasil hutan bukan kayu. Hal tersebut tentu sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan yang ada dan tantangan ke depan berdasarkan kondisi obyektif sumber daya yang tersedia.
Memasuki rotasi kedua kegiatan pengelolaan dan pengusahaan hutan yang ditandai dengan laju deforestasi dan degradasi potensi yang sangat significant dengan salah satu indikatornya adalah semakin luasnya areal-areal tidak produktif di dalam kawasan hutan, maka diversifikasi produk dari kawasan hutan mutlak diperlukan dan merupakan suatu alternatif yang bijaksana dalam mempertahankan bahkan meningkatkan produktifitas hutan. Bahwa kita tidak lagi harus terpaku pada hasil hutan kayu (dan atau bukan kayu) semata-mata yang dapat dipungut dari dalam kawasan hutan, tetapi perlu ditempuh langkah-langkah terobosan berupa diversifikasi produk yang mampu dihasilkan dari kawasan hutan atau melalui pemanfaatan kawasan hutan sebagaimana juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hal mana dapat dilakukan dengan tanpa merubah fungsi kawasan hutan itu sendiri.
Salah satu langkah diversifikasi dimaksud yang dapat diterapkan adalah pemanfaatan sekar-sekat bakar di dalam Kawasan Hutan Produksi sebagai areal atau lokasi bagi pengembangan budidaya kehutanan non kayu, misalnya agroforestry dan pengembangan tanaman pertanian secara umum, baik pada hutan multikultur maupun hutan monokultur.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa pengelolaan dan pengusahaan hutan oleh pemegang HPH selama ini menganut siklus tebangan selama 35 tahun (atas dasar asumsi pertumbuhan riap diameter rata-rata sebesar 1 cm per tahun). Hal tersebut pula yang mendasari bahwa suatu areal HPH dibagi atas 7 (tujuh) blok Rencana Karya Lima Tahun (RKL), dimana pada saat RKL ke-VIII kegiatan pengusahaan hutan secara teoritis kembali lagi pada Blok RKL yang pertama, dan seterusnya.
Secara teknis di lapangan, setiap HPH di lapangan diwajibkan membuat batas areal kerja baik berupa batas alam maupun batas buatan. Demikian pula halnya dengan Blok-Blok RKL yang juga dibatasi oleh batas-batas blok secara nyata di lapangan. Adanya batas-batas fisik di lapangan tersebut ternyata selama ini hal tersebut tidaklah menjamin keamanan areal yang dikelola oleh para pemegang HPH mengingat keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat sangat minim bahkan tidak ada sama sekali.
Kewajiban pemegang HPH dalam membuat batas areal kerja HPH maupun batas Blok RKL tersebut untuk masa yang akan datang dapat dikembangkan dengan membuat sekat-sekat bakar dengan jarak sekitar 50 – 75 meter dari tepi batas dalam konteks pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi, yang dalam hal pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan kepada masyarakat setempat dengan bimbingan dari pemegang HPH yang bersangkutan dengan mengadopsi semacam Pola Bapak Angkat atau kemitraan antara HPH dengan masyarakat setempat untuk cakupan kegiatan yang berbeda. Masyarakat diserahkan untuk mengelola areal pada sekat-sekat bakar dengan orientasi produk berupa tanaman pertanian secara umum (agroforestry), sementara pemegang HPH mengelola areal kerjanya dengan orientasi produk berupa kayu.
Bisa dibayangkan betapa besar potensi yang dapat digali dan dikembangkan melalui pengelolaan sekat-sekat bakar sebagai batas areal kerja HPH maupun batas blok-blok kerja di lapangan tersebut. Misalnya suatu HPH dengan luas areal ± 45.000 Ha setidaknya memiliki batas areal kerja sepanjang 180 Km dan di dalamnya terdapat sebanyak 7 (tujuh) Blok RKL dengan asumsi total panjang batas blok mencapai 150 Km, maka hal tersebut berarti akan terdapat potensi sekar bakar di dalam areal kerja HPH seluruhnya sepanjang ± 330 Km. Kalau sekar bakar dibuat dengan jarak 50 – 75 meter dari tepi batas, itu artinya setara dengan luasan mencapai 1.650 – 2.475 Ha per HPH yang dapat dikelola oleh masyarakat setempat.
Melalui kebijakan pemanfaatan kawasan Hutan Produksi dengan pengelolaan sekat bakar semacam itu maka akan dapat diperoleh berbagai manfaat, baik bagi sumber daya hutan itu sendiri, masyarakat maupun pemegang HPH, antara lain :
-Luas kawasan Hutan Produksi tidak mengalami pengurangan (tetap) karena pengelolaan sekar bakar tidak merubah fungsi kawasan hutan.
-Diversifikasi dan ekstensifikasi jenis produk dari dalam kawasan hutan, selain hasil hutan juga diperoleh hasil-hasil non kehutanan.
-Terciptanya kemantapan kawasan hutan sebagai akibat dari timbulnya rasa memiliki (sense of belonging) dari masyarakat setempat terhadap kawasan hutan.
-Terpeliharanya keamanan kawasan hutan, dimana masyarakat setempat pengelola sekat bakar pada batas areal kerja HPH dengan sendirinya juga akan mengamankan “asset” mereka dari berbagai bentuk gangguan atau perambahan.
-Pemegang HPH dapat melaksanakan aktifitasnya dengan dukungan penuh dari masyarakat setempat.
-Pemberdayaan masyarakat setempat
-Terciptanya lapangan usaha dan ksempatan kerja baru sebagai sumber penghasilan yang dapat diandalkan oleh masyarakat setempat.
-Meningkatnya penghasilan (income) pemegang HPH sebagai dampak dari multiproduk yang dihasilkan.
Kesemuanya itu adalah merupakan komponen penyusun dari apa yang dinamakan dengan meningkatnya produktifitas kawasan hutan yang bermuara pada kelestarian sumber daya alam hutan.
C.PENINGKATAN PRODUKTIFITAS PEMANFAATAN HASIL HUTAN
Berdasarkan kenyataan selama ini bahwa kegiatan eksploitasi hutan yang dilakukan dengan menggunakan sistem Tebang Pilih Indonesia (baik TPTI, THPB, THPA, dan TPTJ) telah menyebabkan banyak bagian-bagian pohon berupa limbah yang tidak dan belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Di hutan-hutan bekas tebangan ditemukan banyak sekali pohon yang rusak atau kayu bulat yang tidak memenuhi syarat sortimen yang ditinggalkan.
Besarnya limbah pembalakan yang terdapat dihutan-hutan dapat mencapai jumlah lebih dari 40 % dengan perincian sebagai berikut :
- Sisa tunggak = 2 persen
- Batang cacat = 30 persen
- Cabang dan ranting = 8 persen
Dengan mengacu pada data produksi kayu di Propinsi Kalimantan Tengah sekitar 2,5 juta M3, maka sebanyak ± 1 juta M3 yang belum termanfaatkan/terbuang. Selain di hutan-hutan, limbah kayu yang muncul di Industri pengolahan kayu hilir maupun hulu yang mencapai jumlah lebih dari 50 %. Suatu jumlah yang sangat berarti.
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, maka limbah kayu merupakan potensi yang sangat berarti dan berharga bila dapat dimanfaatkan. Untuk itu di masa mendatang kegiatan yang mengarah dalam rangka peningkatan produktifitas dan efisiensi pemanfaatan hasil hutan sangatlah mendesak dilakukan, hal itu diperlukan untuk dapat mengurangi sekecil mungkin limbah kayu yang terbuang.
Berbagai langkah dapat ditempuh, antara lain dengan memberikan kemudahan dalam pemanfatan limbah tebangan, hal itu telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu dengan kemudahan pemberian target Limbah bagi pemegang HPH, selain itu mendorong para pemegang HPH/IPK untuk mengoperasikan Portable Saw.
Kendala dan penyebab belum mampu dimanfaatkannya limbah kayu yang tertinggal di lokasi-lokasi tebangan antara lain karena :
- Kebijakan dalam rangka pemanfaatan limbah kayu terkendala kakunya kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan selama ini antara lain prioritas pemanfaatan limbah kayu sisa tebangan terbatas oleh para pemegang HPH dengan besarnya target sebesar 15 % dari total target produksi RKT-PH (TPTI).
- Peralatan eksploitasi yang dimiliki oleh para pemegang HPH tidak sesuai untuk pemanfaatan limbah, terutama sarana angkutan kayu yang tersedia dikhususkan untuk keperluan pengangkutan kayu produksi yang berkualitas untuk spesifikasi ekspor. Sedangkan pasaran dan kegunaan limbah kayu masih terbatas untuk keperluan lokal dengan harga yang tidak kompetitif.
Kebijakan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan yang memperbolehkan HPH yang bersangkutan untuk memanfaatkan limbah kayu eksploitasi sebesar 15 % dari total target yang diberikan, bahkan bukan sekedar prioritas tetapi lebih merupakan monopoli HPH, akan berdampak pada besarnya produksi limbah itu sendiri. Bahwa tidak ada keseriusan dari pemegang HPH untuk berusaha meminimalkan jumlah limbah kayu dari kegiatan eksploitasi yang mereka kerjakan. Semakin besar limbah dari kegiatan eksploitasi hal tersebut sebenarnya mencerminkan betapa buruknya sistem eksploitasi yang diterapkan di lapangan, bahkan dapat dikatakan bahwa pemegang HPH itu sangat tidak perduli dengan kelestarian sumber daya alam hutan atau efisiensi sumber daya.
Oleh karena itu perlu diambil langkah-langkah kebijakan yang dapat diterapkan secara efektif atau dalam kaitannya dengan pemanfaatan limbah kayu baik yang berupa limbah eksploitasi (di blok-blok tebangan) maupun limbah industri diserahkan sepenuhnya kepada daerah.
C.PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT
Peranan sektor kehutanan dalam percepatan pembangunan Kalimantan Tengah seperti tahun-tahun sebelumnya, maka untuk ke depan semakin memegang peranan yang sangat strategis. Disamping sebagai kontributor utama PDRB Propinsi Kalimantan Tengah, sektor kehutanan juga memainkan peranan yang multiflier effect terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat dan daerah, terlebih-lebih di era Otonomi Daerah yang telah dimulai tahun 2001 ini.
Pembangunan kehutanan di Kalimantan Tengah secara konsisten akan dilaksanakan dengan paradigma baru yakni pengelolaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat dan menjamin terselenggaranya asas-asas pemerataan, keadilan dan berkelanjutan dalam tatanan sistem pemerintahan yang desentralistik yang dijiwai oleh semangat reformasi dan otonomi. Hal tersebut mengandung suatu pengertian bahwa tujuan utama atau the main focus dari pembangunan kehutanan yang dilaksanakan adalah untuk kesejahteraan masyarakat.
Bahwa untuk selanjutnya masyarakat harus ditempatkan sebagai aktor terdepan dalam kegiatan pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai penonton seperti sebelumnya. Oleh karena itu maka pemberdayaan masyarakat menjadi central point dari seluruh aspek kegiatan pengelolaan dan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Bahwa masyarakat harus “disiapkan” dalam arti diberdayakan sesuai dengan potensi obyektif yang dimilikinya dengan jalan mengeliminir seminimal mungkin segala bentuk kelemahan yang selama ini mereka miliki.
Untuk tujuan tersebut maka langkah strategis yang ditempuh adalah dengan menggalang program kemitraan pengusahaan hutan antara para pemegang HPH/HPHTI dengan masyarakat setempat.
Sebagaimana konsep Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah yang berjudul Kemitraan Koperasi dan HPH, yang kemudian disempurnakan menjadi Kemitraan Masyarakat dan HPH, potensi kemitraan pengusahaan hutan yang dapat dikembangkan di Kalimantan Tengah, dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1)Kemitraan Kepemilikan Saham (Share holder Partnership)
2)Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership), yang terdiri atas :
a)Kemitraan pada Kegiatan Utama pengusahaan hutan (Main Activity Partnership)
b)Kemitraan pada Kegiatan Penunjang pengusahaan hutan (Complementary Activity Partnership)
c)Kemitraan pada Kegiatan Lainnya yang dilaksanakan oleh HPH (Miscellaneous Activity Partnership).
Mengingat kondisi dan potensi obyektif desa baik yang berada di sekitar hutan maupun di dalam areal hutan dimana kegiatan pengusahaan hutan oleh HPH berlangsung yang serba “kurang” dan “terbatas” baik dari segi modal, pengalaman, keahlian, pendidikan dan ketrampilan, maka Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership) dipandang merupakan pilihan yang ideal dalam rangka “memberdayakan” (empowering) masyarakat setempat.
Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership) tersebut bertujuan untuk “mempersiapkan” masyarakat setempat, baik dalam hal permodalan, pengalaman dan keahlian di bidang pengelolaan dan pengusahaan hutan secara lestari, hingga pada saatnya nanti mereka mampu berdiri sendiri (kuat modal dan cukup pengalaman maupun keahlian).
Khusus dalam hal Kemitraan Kepemilikan Saham (Share holder Partnership), telah diatur secara tegas dan jelas dalam PP No. 6 Tahun 1999 (meskipun perlu penyesuaian sesuai UU No. 41 Tahun 2000), SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan masing-masing No. 307/Kpts-II/1999, No. 312/Kpts-II/1999 dan No. 313/Kpts-II/1999 yang mewajibkan setiap pemilik HPH (HPH baru atau HPH perpanjangan) untuk mengalokasikan minimal 20 % sahamnya kepada masyarakat setempat melalui lembaga koperasi, dimana 10 % diantaranya langsung berupa hibah pada saat SK HPH diterbitkan.
Realisasi kepemilikan saham HPH oleh masyarakat setempat tersebut sampai dengan tahun 2001 di Kalimantan Tengah terdapat pada 14 (empat belas) unit HPH baru, yang umumnya berupa :
- Saham milik koperasi masyarakat sekitar hutan, dan
- Saham milik pondok pesantren di Kabupaten setempat.
Sedangkan dalam hal Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership) antara HPH dengan masyarakat setempat, yang selama ini telah berjalan, seperti :
- Kerjasama pemiliran kayu (rakit)
- Kerjasama penebangan
- Kerjasama pemasaran hasil-hasil pertanian (ladang)
- Kerjasama pendidikan.
Adanya bentuk kerjasama tersebut masih sangat terbatas, baik dalam hal scope kegiatannya maupun manfaat yang diperoleh. Pada sisi lain, sebenarnya potensi kemitraan yang ada sangat luas dan menjanjikan seperti yang tertuang dalam konsep Kemitraan Masyarakat dan HPH tersebut.
Dalam hal kepemilikan saham koperasi pada HPH (di Kalimantan Tengah pada saat ini terdapat 14 HPH baru yang mengacu pada ketentuan tersebut di atas) maka setidaknya terdapat 2 (dua) hal yang perlu mendapat perhatian serius kita bersama, yakni :
- Bahwa lembaga koperasi yang diperbolehkan memiliki saham hibah pada HPH adalah koperasi yang beranggotakan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar areal kerja HPH yang bersangkutan serta berkedudukan di desa terdekat dan atau bahkan yang berada di dalam areal HPH. Jangan sampai terjadi HPH-nya beroperasi di Kalimantan Tengah, tetapi koperasi mitranya justru adalah koperasi di Jawa.
- Pemerintah Pusat baik Departemen Kehutanan maupun departemen terkait lainnya seperti Departemen Keuangan hendaknya memberikan perhatian khusus dan prioritas penyelesaian masalah kepemilikan saham koperasi pada HPH tersebut, bukan hanya sekedar “retorika” dalam aturan saja. Pengukuhan atau pengesahan kepemilikan saham koperasi masyarakat tersebut sangat penting artinya sehingga pada saatnya koperasi tersebut dapat menerima bagian deviden yang menjadi haknya setiap tahun. Apabila kebijakan tersebut disamaratakan dengan lembaga usaha lainnya, maka tentu saja masyarakat sebagai anggota koperasi tidak akan mampu merealisasi sejumlah modal awal disetor atas persen saham yang dihibahkan tersebut.
E.DUKUNGAN PEMERINTAH PUSAT
1.Umum
Meskipun potensi berdasarkan kondisi obyektif Propinsi Kalimantan Tengah di sektor kehutanan memang sangat menjanjikan untuk dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal pada waktu-waktu yang akan datang, terlebih-lebih dalam era Otonomi Daerah, namun seiring dengan besarnya harapan di sektor kehutanan tersebut diyakini bahwa tantangan maupun hambatan ke depan akan semakin kompleks baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk itu maka dukungan dari Pemerintah Pusat khususnya Departemen Kehutanan sangat diharapkan guna mendukung kelancaran pembangunan sektor kehutanan di Propinsi Kalimantan Tengah yang berbasiskan kerakyatan dan berwawasan lingkungan secara lestari. Terdapat sedikitnya 3 (tiga) hal utama yang perlu mendapat dukungan dari pihak Pemerintah Pusat, yaitu masalah kebijakan, data dan informasi serta pembiayaan.
a.Kebijakan
Disadari bahwa pelaksanaan pembangunan secara berkesinambungan oleh suatu daerah tidak mungkin dapat berdiri sendiri. Bahwa pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam pengertian tersebut maka kebijakan nasional akan menjadi payung dari kebijakan di daerah hingga operasionalisasinya di lapangan. Meskipun demikian, hendaknya dalam penyusunan kebijakan di tingkat pusat hendaknya selalu memperhatikan karakteristik setiap daerah dan kondisi obyektif yang ada dengan selalu mengedepankan aspek pemberdayaan masyarakat.
Suatu kebijakan sektor kehutanan tentunya akan mudah dilaksanakan atau dijabarkan lebih lanjut di daerah kalau hal tersebut tertuang dalam suatu regulasi yang mantap dan obyektif. Obyektifitas disini akan menjadi sangat penting artinya di tahun-tahun yang akan datang seiring dengan telah diberlakukannya Otonomi Daerah, termasuk bagaimana mengakomodasi berbagai tuntutan dan kebutuhan daerah yang pokok, yang bila tidak terpenuhi pada gilirannya akan berimbas hingga ke skala nasional bahkan internasional.
Dalam waktu dekat, semestinya penjabaran Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ke dalam Peraturan Pemerintah segera dapat diselesaikan, mengingat hal tersebut telah tertunda cukup lama.
Hal penting lainnya adalah bahwa dalam penyusunan kebijakan, Pemerintah Pusat hendaknya benar-benar konsekwen dengan pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah menjadi komitmen bersama secara nasional.
b.Data dan Informasi
Salah satu kendala yang sering dihadapi di daerah adalah terbatasnya data dan informasi maupun keterlambatan aliran arus data dan informasi yang sampai di daerah, terutama yang menyangkut kebijakan-kebijakan nasional, regional bahkan internasional termasuk kesepakatan-kesepakatan global. Hal tersebut bukan disebabkan karena kendala media komunikasi mengingat di Propinsi Kalimantan Tengah berbagai fasilitas untuk itu telah established dan exist, seperti telepon, faxcimili, e-mail, internet, Geograpichal Information System (GIS), dan lain-lain, tetapi lebih dimungkinkan karena mekanisme dan managemen distribusi data dan informasi di tingkat pusat atau bahkan aspek sosialisasi ke daerah.
Hal tersebut (data dan informasi) bukan hanya untuk hal-hal yang terkait dengan regulasi kehutanan, tetapi juga menyangkut data dan informasi aktual yang sangat dibutuhkan di daerah.
Sebagai contoh, dalam hal penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2001 ini, Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah cq. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah secara aktif dan terus menerus berusaha mengumpulkan data hotspot yang diliput oleh satelit NOAA dengan jalan membuka homepage Departemen Kehutanan di internet setiap hari sebagai bahan koordinasi dan langkah tindak lanjut di daerah. Sayangnya, data yang ada di homepage tersebut justru sudah tidak valid lagi (tertinggal 2 hari) dan tidak menyajikan data koordinat hotspot dimaksud. Beruntung kemudian dapat diperoleh akses ke sumber pengolah data hotspot satelit NOAA tersebut sehingga data dan informasi harian dapat diperoleh.
c.Pembiayaan
Bagaimanapun juga dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan di daerah sangat memerlukan dukungan pembiayaan (dana) dari Pemerintah Pusat. Dengan dilandasi pemahaman bahwa hutan dengan segala potensinya yang ada di Kalimantan Tengah bukan semata-mata menjadi milik Propinsi Kalimantan Tengah, maka keberhasilan pembangunan kehutanan di Propinsi Kalimantan Tengah tidak terlepas dari dukungan dana dari pemerintah pusat, yang selama ini turun ke daerah dalam bentuk proyek-proyek pembangunan tetapi dirasakan masih jauh dari cukup sesuai dengan kebutuhan yang ada. Tidak jarang terjadi pemotongan usulan anggaran yang mengakibatkan tertundanya bahkan tehambatnya program-program yang telah direncanakan sebelumnya.
Hal mendasar lainnya adalah dukungan dana dari pusat untuk hal-hal yang sifatnya tidak terencana sebelumnya (contingency), atau sebagai “buah” dari suatu kebijakan tertentu dalam suatu waktu tertentu yang terkait dengan kebijakan yang berasal dari Pemerintah Pusat yang dilaksanakan di daerah.
Penanganan masalah Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), kasus illegal logging bahkan bencana asap misalnya, memerlukan dana yang tidak sedikit dimana pihak Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah maupun Pemerintah Kabupaten setempat setidaknya dimasa transisi ini tidak memiliki ketersediaan dana yang cukup. Untuk itu diharapkan Pemerintah Pusat cq. Departemen Kehutanan dapat mengalokasikan semacam Dana Contingency yang diperhitungkan berdasarkan luas kawasan hutan di Propinsi yang bersangkutan serta permasalahan yang dihadapi.
2.Khusus
a.Penertiban TNTP
Text Box: Gambar 15 : Induk orang utan dan anaknya berbagi makanan yang terancam tersingkir di habitatnya
Dalam hal penertiban Taman Nasional Tanjung Putting (TNTP), mengacu pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan kawasan TNTP maupun kawasan konservasi lainnya baik secara teknis maupun operasional termasuk pembiayaannya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan. Namun yang terjadi selama ini terkesan pusat tidak concern dan commited dalam menertiban kawasan tersebut yang tidak saja merupakan asset daerah tetapi lebih merupakan asset nasional bahkan internasional, jutsru sebaliknya ada kecenderungan seluruh langkah yang telah ditempuh oleh Pemerintah Propinsi dan Kabupaten selama ini dianggap gagal atau tidak membuahkan hasil secara significant.
Untuk selanjutnya di waktu-waktu yang akan datang, sudah semestinya Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan tidak tinggal diam dan menunggu tetapi terjun langsung dalam upaya-upaya penertiban Kawasan TNTP secara proaktif dan nyata dengan senantiasa menggalang koordinasi dengan pihak Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah serta Kabupaten setempat.
b. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (DAK-DR 40 %)
Dipahami bahwa kebijakan Dana Alokasi Khusus dari Dana Reboisasi sebesar 40 % (DAK-DR 40 %) untuk program rehabilitasi hutan dan lahan merupakan implementasi dari Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Artinya bahwa meski tampaknya alokasi dana tersebut mengalir dari pusat, tetapi hal tersebut sebenarnya merupakan porsi atau hak daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) sebaiknya tidak menerapkan standar ganda dengan membuat suatu kebijakan mengenai pembatasan alokasi DAK-DR 40 % porsi daerah tersebut. Artinya pada satu sisi alokasi DAK-DR 40 % tersebut diserahkan ke daerah sesuai dengan Undang-Undang, sementara di sisi lain Pemerintah Pusat membatasi penggunaannya oleh daerah seperti yang diatur dalam Pedoman Umum DAK-DR.
Hal tersebut perlu disadari bersama dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) mengingat bahwa dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak semata-mata berupa kegiatan fisik-teknis di lapangan, tetapi harus merupakan suatu sinergi dengan kegiatan-kegiatan pra kondisi non fisik-teknis seperti kegiatan penelitian, pelatihan dan pemantauan - evaluasi yang tentu saja juga memerlukan dukungan dana secara proporsional, yang untuk Kalimantan Tengah dengan kondisi obyektifnya dibutuhkan sekitar 5 – 10 % dari alokasi DAK-DR 40 % tersebut yang dikelola di Propinsi.
Dewasa ini dan ke depan, kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan merupakan aspek penting yang harus dilaksanakan guna mempertahankan produktifitas sumber daya hutan secara berkelanjutan. Hal ini mengingat luas lahan kritis yang ada di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah sudah mencapai angka yang memprihatinkan yakni mencapai areal seluas 4.331.092 Ha, yang terdiri dari lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 2.815.803 Ha dan lahan kritis di luar kawasan hutan seluas 1.515.389 Ha.
Dalam rangka melaksanakan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dan hutan tersebut selama ini dan untuk selanjutnya dilaksanakan melalui beberapa program atau kegiatan secara simultan, baik yang dilaksanakan secara mandiri dan terintegrasi dengan kegiatan pengusahaan hutan oleh pemegang HPH/HPHTI maupun melalui proyek-proyek pembangunan, sebagai berikut :
1. Melalui Sistem Silvikultur TPTI
Dalam sistem silvikultur TPTI tanggung jawab untuk mempertahankan dan meningkatkan produktifitas hutan oleh pemegang HPH secara jelas dan tegas telah diatur dalam 11 (sebelas) tahapan TPTI, yakni sejak tahapan yang ke-5 dan seterusnya yang juga dikenal sebagai kegiatan pembinaan hutan, yang dapat pula diartikan sebagai kegiatan rehabilitasi kawasan hutan di dalam areal kerja HPH. Disamping itu, penerapan selective cutting atau pembatasan limit diameter pohon yang boleh ditebang secara langsung atau tidak langsung juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya-upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan produktifitas hutan.
Secara nyata implementasi kegiatan rehabilitasi kawasan hutan dengan sistem silvikultur TPTI tersebut oleh para pemegang HPH berupa :
a)Kegiatan perkayaan; merupakan kegiatan penanaman permudaan alam setempat dengan maksud memperkaya struktur tegakan dan potensinya dengan membuat jalur-jalur tanam di areal-areal tertentu di dalam blok-blok kerja HPH yang diidentifikasi memiliki potensi kurang atau bahkan tidak potensial (£ 20 M3/Ha), dengan jarak tanam setiap interval 5 meter.
b)Kegiatan penanaman; yakni kegiatan penanaman permudaan alam setempat maupun jenis pendatang (fast growing species) pada lokasi-lokasi tanah kosong, bekas jalan sarad, bekas base camp, bekas TPK/TPn, dan lain-lain di dalam areal kerja HPH.
Adapun realisasi pelaksanaan sistem silvikultur TPTI oleh para pemegang HPH dalam 2 (dua) tahun terakhir ini berturut-turut mencapai 91,63 % untuk tahun RKT-PH 1999/2000 dan 82,50 % untuk tahun RKT-PH 2000.
Prosentase pencapaian realisasi TPTI tersebut memang relatif cukup besar atau dapat dilkatakan bahwa implementasi pelaksanaan TPTI oleh para pemegang HPH berjalan cukup baik, setidaknya menurut data yang dihimpun dari Laporan Bulanan perusahaan HPH. Namun hal tersebut tampaknya tidak sinkron dengan kenyataan di lapangan, dimana potensi per satuan luas kawasan hutan produksi yang cenderung terus menerus mengalami penurunan (terdegradasi) dari tahun ke tahun. Semestinya apabila TPTI dilaksanakan secara benar di lapangan tentu akan berimplikasi pada meningkatnya produktifitas tegakan termasuk berlangsungnya proses regenerasi hutan secara normal atau terjadi suksesi hutan.
Oleh karena itu, evaluasi terhadap pelaksanaan sistem silvikultur TPTI hendaknya tidak semata-mata melihat data pencapaian realisasi terhadap target kegiatannya, tetapi juga dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap tingkat keberhasilan dari parameter-parameter yang terealisasi tersebut.
Misalnya, menurut laporan perusahaan telah dilaksanakan penanaman/ pengayaan sejumlah 90.000 anakan di areal kerjanya dari target 100.000 anakan atau realisasi 90 %. Yang perlu dikaji dan dievaluasi adalah justru seberapa banyak dari 90.000 anakan tersebut yang berhasil tumbuh normal untuk mencapai tingkatan-tingkatan pertumbuhan tegakan, mulai dari berapa yang mampu tumbuh mencapai tingkat semai (seedling), tingkat sapihan (sapling), tingkat tiang (pole) dan yang mencapai tingkat pohon (tree) pengganti tegakan yang ditebang. Jadi yang dilihat dan dinilai bukanlah angka 90 %-nya itu semata-mata.
2. Melalui Sistem Silvikultur TPTJ
Disamping sistem silvikultur TPTI, beberapa tahun belakangan salah satu sistem silvikultur yang juga diterapkan dalam kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah adalah sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ).
Hakekat penerapan sistem silvikultur TPTJ pada dasarnya adalah untuk mengantisipasi menurunnya potensi tegakan per satuan hektar pada rotasi kedua pengusahaan hutan sekaligus menerapkan fungsi rehabilitasi atas seluruh areal bekas tebangan di dalam areal kerja HPH yang bersangkutan berdasarkan aturan-aturan teknis yang tertuang dalam buku RKT-PH.
Penurunan limit diameter yang boleh ditebang (dibandingkan dengan TPTI) yakni menjadi Æ 40 cm up memang dapat mendongkrak produksi per satuan hektar HPH yang bersangkutan. Pada sisi lain, intensifnya kegiatan penaman pada setiap jalur tanam dalam TPTJ merupakan hal yang cukup menjanjikan dalam meningkatkan produktifitas hutan produksi alam.
Di Kalimantan Tengah saat ini terdapat 11 (sebelas) unit HPH yang menerapkan sistem silvikultur TPTJ, terdiri dari :
- 4 (empat) unit HPH Murni
- 7 (tujuh) unit HPH Penugasan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan yang dikelola oleh BUMN PT. INHUTANI III.
Dalam penerapan sistem silvikultur TPTJ ini khususnya pada daerah-daerah yang bertopografi bergelombang hingga berbukit (umumnya HPT), diperlukan kehati-hatian ekstra guna menghindari dampak sampingan yang mungkin ditimbulkan, seperti bahaya erosi atau longsor. Bahkan untuk areal-areal HPH dengan karakteristik topografi yang demikian perlu dipertimbangkan layak tidaknya penerapan sistem silvikultur TPTJ, sama halnya dengan kondisi pada hutan rawa.
Penurunan batas diameter pohon yang boleh ditebang hingga diameter 40 cm memiliki konsekuensi akan semakin banyak jumlah pohon (N) yang ditebang guna mengejar perolehan volume (V) per satuan hektarnya. Hal itu berarti faktor permudaan atau penanaman pada jalur-jalur tanam yang dibuat hendaknya betul-betul diperhitungkan baik dari kuantitas maupun kualitas tanaman sehingga keseimbangan tegakan hutan tetap dapat terpelihara. Artinya, N yang dipungut harus minimal sebanding dengan N yang ditanam dengan memperhatikan faktor keberhasilan tumbuh normal (N++).
3. Hutan Tanaman Industri (HTI)
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan bentuk lain dari upaya melakukan rehabilitasi lahan di dalam kawasan hutan sebagai hutan tanaman. Sepanjang pembangunan HTI tersebut dilaksanakan pada kawasan hutan yang memang tidak produktif lagi, maka setidaknya akan tercipta 2 (dua) manfaat utama dari program tersebut, yakni :
Rehabilitasi lahan tidak produktif menjadi areal produktif yang mempengaruhi aspek ketahanan lahan (faktor edaphis) dan ketahanan hidro-orologis.
Peningkatan produktifitas lahan yang menghasilkan produksi kayu sebagai penghara industri dari hutan monokultur yang dibangun.
Pembangunan HTI di Kalimantan Tengah telah berlangsung sejak tahun 1992, hingga sekarang terdapat sebanyak 21 unit HPHTI meliputi areal seluas 359.690 Ha, yang terdiri dari :
- HTI Trans sebanyak 15 unit = 158.995 Ha
- HTI Murni sebanyak 5 unit = 108.545 Ha
- HTI Pulp sebanyak 1 unit = 92.150 Ha.
Apabila dilihat dari lamanya kegiatan pembangunan HTI di Kalimantan Tengah, yakni sejak tahun 1992, hal itu berarti setelah 9 tahun berjalan (tahun 2001 ini) semestinya sudah memasuki masa panen mengingat jenis-jenis tanaman yang dikembangkan dalam HTI umumnya adalah dari kelompok jenis tanaman yang cepat tumbuh dengan daur pendek atau fast growing species. Namun kenyataannya adalah bahwa hingga sekarang belum ada perusahaan HTI yang memasuki masa panen terhadap tanaman yang mereka tanam.
Ditinjau dari segi jumlah unit HTI yang dibangun dan luasnya areal HTI yang mencapai 359.690 Ha tersebut, disamping Pemerintah Propinsi dan Kabupaten, Pemerintah Pusat sangat diharapkan dukungannya secara nyata dalam pembangunan industri pulp dan kertas di daerah dengan jalan menyerahkan kewenangan perijinan industri kehutanan sepenuhnya kepada daerah. Kebutuhan tersebut setidaknya 3 tahun ke depan sudah dapat terealisasi mengingat produksi kayu dari areal HTI yang cukup luas tersebut dimana daur tanaman HTI yang dikembangkan berkisar rata-rata 12 tahun.
4. Melalui Proyek Pembangunan
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan produktifitas lahan, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, selain yang dilaksanakan oleh para pemegang HPH dan HPHTI yang terintegrasi dengan kegiatan pengusahaan hutan di dalam areal kerjanya, juga dilaksanakan melalui proyek-proyek pembangunan, baik dengan sumber dana APBD (Proyek Bantuan Reboisasi) maupun sumber dana Pusat (DAK-DR).
Proyek Bantuan Reboisasi (APBD) dalam tahun 2000 dilaksanakan tersebar di 5 (lima) Kabupaten/Kota dengan jumlah angaraan seluruhnya sebesar Rp. 150.000.000,- dengan realisasi sebesar Rp. 148.425.000,- (98,95 %).
Untuk tahun-tahun yang akan datang, pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan dan kawasan hutan secara khusus mendapat alokasi anggaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi 40 % (DAK-DR 40 %).
Mekanisme pengalokasian dan penganggaran DAK-DR 40 % tersebut mengacu pada surat Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan cq. Kepala Biro Perencanaan No. 1120/II/REN/2001 tanggal 30 Mei 2001. Berdasarkan pedoman yang ditetapkan tersebut, alokasi DAK-DR 40 % untuk setiap Kabupaten/Kota didasarkan pada 8 (delapan) kriteria, yaitu :
a) Proyeksi penerimaan DR masing-masing Kabupaten/Kota
b) Luas lahan kritis
c) Tingkat kekritisan ekosistem DAS/Sub DAS (DAS prioritas)
d) Jumlah desa tertinggal
e) Jumlah penduduk pra sejahtera
f) Jumlah pegawai di bidang kehutanan
g) Kepadatan penduduk agraris
h) Pelaksanaan kegiatan penghijauan/reboisasi pada tahun-tahun lampau.
Program-program rehabilitasi yang telah disusun memanfaatkan sumber dana DAK-DR 40 % tersebut meliputi :
a) Rehabilitasi di dalam Kawasan Hutan :
b) Rehabilitasi Hutan Produksi di dalam areal HPH
c) Rehabilitasi Hutan Produksi di luar areal HPH
d) Rehabilitasi Hutan Produksi eks HPH
e) Rehabilitasi hutan dan lahan di luar Kawasan Hutan
f) Rehabilitasi hutan dan lahan eks PLG
g) Rehabilitasi Kawasan Hutan Mangrove
h) Rehabilitasi Kawasan Hutan Lindung
i) Rehabilitasi lahan eks Tambang Rakyat
Melalui program-program reboisasi dan rehabilitasi lahan dan hutan sebagaimana dikemukakan di atas harapan yang paling mendasar tentunya adalah terpeliharanya kualitas dan kuantitas sumber daya hutan dan lahan yang produktif dan mampu memberikan manfaat secara lestari bagi pembangunan dan masyarakat. Di sisi lain, adanya program-program tersebut tentu berimplikasi pada pembukaan lapangan kerja baru kepada masyarakat khususnya masyarakat setempat yang selama ini hidup dan mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam hutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa partisipasi masyarakat merupakan kata kunci dari keberhasilan program reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan.
Dengan pemahaman yang demikian, maka secara khusus dalam hal pelaksanaan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan yang dibiayai dengan sumber dana DAK-DR 40 % dengan alokasi dana yang direncanakan cukup besar, dalam pelaksanaannya di-tender-kan kepada masyarakat luas, dimana masyarakat setempat harus dilibatkan secara pro-aktif sejak dari tahapan perencanaan kegiatan hingga operasional di lapangan.
Bahwa demi tercapainya sasaran dan tujuan dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak dapat dipandang hanya dari segi teknis operasional semata-mata (pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dll) tetapi lebih merupakan satu kesatuan dengan hal-hal yang terkait dengan kegiatan pra kondisi lapangan seperti penelitian dan pengembangan (litbang), peningkatan kualitas SDM melalui kegiatan pelatihan bahkan kegiatan pemantauan dan evaluasi pelaksanaannya juga akan sangat menentukan tingkat keberhasilan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan rahabilitasi hutan dan lahan. Oleh karena itu, dalam hal penggunaan alokasi DAK-DR 40 % harus mencakup semua aspek kegiatan tersebut, dimana setidaknya 5 – 10 % dari alokasi DAK-DR 40 % yang merupakan bagian Daerah Penghasil dialokasikan secara khusus untuk kegiatan-kegiatan penelitian, pelatihan dan pemantauan - evaluasi sepanjang terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan yang pengelolaannya terpusat di Propinsi.
B.PENINGKATAN PRODUKTIFITAS PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN
Selama lebih dari tiga dekade yang lalu bahkan hingga sekarang ukuran produktifitas pemanfaatan sumber daya alam hutan umumnya selalu menggunakan parameter kubikasi produksi kayu dari suatu luasan tertentu, disamping beberapa produk hasil hutan bukan kayu. Hal tersebut tentu sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan yang ada dan tantangan ke depan berdasarkan kondisi obyektif sumber daya yang tersedia.
Memasuki rotasi kedua kegiatan pengelolaan dan pengusahaan hutan yang ditandai dengan laju deforestasi dan degradasi potensi yang sangat significant dengan salah satu indikatornya adalah semakin luasnya areal-areal tidak produktif di dalam kawasan hutan, maka diversifikasi produk dari kawasan hutan mutlak diperlukan dan merupakan suatu alternatif yang bijaksana dalam mempertahankan bahkan meningkatkan produktifitas hutan. Bahwa kita tidak lagi harus terpaku pada hasil hutan kayu (dan atau bukan kayu) semata-mata yang dapat dipungut dari dalam kawasan hutan, tetapi perlu ditempuh langkah-langkah terobosan berupa diversifikasi produk yang mampu dihasilkan dari kawasan hutan atau melalui pemanfaatan kawasan hutan sebagaimana juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hal mana dapat dilakukan dengan tanpa merubah fungsi kawasan hutan itu sendiri.
Salah satu langkah diversifikasi dimaksud yang dapat diterapkan adalah pemanfaatan sekar-sekat bakar di dalam Kawasan Hutan Produksi sebagai areal atau lokasi bagi pengembangan budidaya kehutanan non kayu, misalnya agroforestry dan pengembangan tanaman pertanian secara umum, baik pada hutan multikultur maupun hutan monokultur.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa pengelolaan dan pengusahaan hutan oleh pemegang HPH selama ini menganut siklus tebangan selama 35 tahun (atas dasar asumsi pertumbuhan riap diameter rata-rata sebesar 1 cm per tahun). Hal tersebut pula yang mendasari bahwa suatu areal HPH dibagi atas 7 (tujuh) blok Rencana Karya Lima Tahun (RKL), dimana pada saat RKL ke-VIII kegiatan pengusahaan hutan secara teoritis kembali lagi pada Blok RKL yang pertama, dan seterusnya.
Secara teknis di lapangan, setiap HPH di lapangan diwajibkan membuat batas areal kerja baik berupa batas alam maupun batas buatan. Demikian pula halnya dengan Blok-Blok RKL yang juga dibatasi oleh batas-batas blok secara nyata di lapangan. Adanya batas-batas fisik di lapangan tersebut ternyata selama ini hal tersebut tidaklah menjamin keamanan areal yang dikelola oleh para pemegang HPH mengingat keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat sangat minim bahkan tidak ada sama sekali.
Kewajiban pemegang HPH dalam membuat batas areal kerja HPH maupun batas Blok RKL tersebut untuk masa yang akan datang dapat dikembangkan dengan membuat sekat-sekat bakar dengan jarak sekitar 50 – 75 meter dari tepi batas dalam konteks pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi, yang dalam hal pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan kepada masyarakat setempat dengan bimbingan dari pemegang HPH yang bersangkutan dengan mengadopsi semacam Pola Bapak Angkat atau kemitraan antara HPH dengan masyarakat setempat untuk cakupan kegiatan yang berbeda. Masyarakat diserahkan untuk mengelola areal pada sekat-sekat bakar dengan orientasi produk berupa tanaman pertanian secara umum (agroforestry), sementara pemegang HPH mengelola areal kerjanya dengan orientasi produk berupa kayu.
Bisa dibayangkan betapa besar potensi yang dapat digali dan dikembangkan melalui pengelolaan sekat-sekat bakar sebagai batas areal kerja HPH maupun batas blok-blok kerja di lapangan tersebut. Misalnya suatu HPH dengan luas areal ± 45.000 Ha setidaknya memiliki batas areal kerja sepanjang 180 Km dan di dalamnya terdapat sebanyak 7 (tujuh) Blok RKL dengan asumsi total panjang batas blok mencapai 150 Km, maka hal tersebut berarti akan terdapat potensi sekar bakar di dalam areal kerja HPH seluruhnya sepanjang ± 330 Km. Kalau sekar bakar dibuat dengan jarak 50 – 75 meter dari tepi batas, itu artinya setara dengan luasan mencapai 1.650 – 2.475 Ha per HPH yang dapat dikelola oleh masyarakat setempat.
Melalui kebijakan pemanfaatan kawasan Hutan Produksi dengan pengelolaan sekat bakar semacam itu maka akan dapat diperoleh berbagai manfaat, baik bagi sumber daya hutan itu sendiri, masyarakat maupun pemegang HPH, antara lain :
-Luas kawasan Hutan Produksi tidak mengalami pengurangan (tetap) karena pengelolaan sekar bakar tidak merubah fungsi kawasan hutan.
-Diversifikasi dan ekstensifikasi jenis produk dari dalam kawasan hutan, selain hasil hutan juga diperoleh hasil-hasil non kehutanan.
-Terciptanya kemantapan kawasan hutan sebagai akibat dari timbulnya rasa memiliki (sense of belonging) dari masyarakat setempat terhadap kawasan hutan.
-Terpeliharanya keamanan kawasan hutan, dimana masyarakat setempat pengelola sekat bakar pada batas areal kerja HPH dengan sendirinya juga akan mengamankan “asset” mereka dari berbagai bentuk gangguan atau perambahan.
-Pemegang HPH dapat melaksanakan aktifitasnya dengan dukungan penuh dari masyarakat setempat.
-Pemberdayaan masyarakat setempat
-Terciptanya lapangan usaha dan ksempatan kerja baru sebagai sumber penghasilan yang dapat diandalkan oleh masyarakat setempat.
-Meningkatnya penghasilan (income) pemegang HPH sebagai dampak dari multiproduk yang dihasilkan.
Kesemuanya itu adalah merupakan komponen penyusun dari apa yang dinamakan dengan meningkatnya produktifitas kawasan hutan yang bermuara pada kelestarian sumber daya alam hutan.
C.PENINGKATAN PRODUKTIFITAS PEMANFAATAN HASIL HUTAN
Berdasarkan kenyataan selama ini bahwa kegiatan eksploitasi hutan yang dilakukan dengan menggunakan sistem Tebang Pilih Indonesia (baik TPTI, THPB, THPA, dan TPTJ) telah menyebabkan banyak bagian-bagian pohon berupa limbah yang tidak dan belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Di hutan-hutan bekas tebangan ditemukan banyak sekali pohon yang rusak atau kayu bulat yang tidak memenuhi syarat sortimen yang ditinggalkan.
Besarnya limbah pembalakan yang terdapat dihutan-hutan dapat mencapai jumlah lebih dari 40 % dengan perincian sebagai berikut :
- Sisa tunggak = 2 persen
- Batang cacat = 30 persen
- Cabang dan ranting = 8 persen
Dengan mengacu pada data produksi kayu di Propinsi Kalimantan Tengah sekitar 2,5 juta M3, maka sebanyak ± 1 juta M3 yang belum termanfaatkan/terbuang. Selain di hutan-hutan, limbah kayu yang muncul di Industri pengolahan kayu hilir maupun hulu yang mencapai jumlah lebih dari 50 %. Suatu jumlah yang sangat berarti.
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, maka limbah kayu merupakan potensi yang sangat berarti dan berharga bila dapat dimanfaatkan. Untuk itu di masa mendatang kegiatan yang mengarah dalam rangka peningkatan produktifitas dan efisiensi pemanfaatan hasil hutan sangatlah mendesak dilakukan, hal itu diperlukan untuk dapat mengurangi sekecil mungkin limbah kayu yang terbuang.
Berbagai langkah dapat ditempuh, antara lain dengan memberikan kemudahan dalam pemanfatan limbah tebangan, hal itu telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu dengan kemudahan pemberian target Limbah bagi pemegang HPH, selain itu mendorong para pemegang HPH/IPK untuk mengoperasikan Portable Saw.
Kendala dan penyebab belum mampu dimanfaatkannya limbah kayu yang tertinggal di lokasi-lokasi tebangan antara lain karena :
- Kebijakan dalam rangka pemanfaatan limbah kayu terkendala kakunya kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan selama ini antara lain prioritas pemanfaatan limbah kayu sisa tebangan terbatas oleh para pemegang HPH dengan besarnya target sebesar 15 % dari total target produksi RKT-PH (TPTI).
- Peralatan eksploitasi yang dimiliki oleh para pemegang HPH tidak sesuai untuk pemanfaatan limbah, terutama sarana angkutan kayu yang tersedia dikhususkan untuk keperluan pengangkutan kayu produksi yang berkualitas untuk spesifikasi ekspor. Sedangkan pasaran dan kegunaan limbah kayu masih terbatas untuk keperluan lokal dengan harga yang tidak kompetitif.
Kebijakan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan yang memperbolehkan HPH yang bersangkutan untuk memanfaatkan limbah kayu eksploitasi sebesar 15 % dari total target yang diberikan, bahkan bukan sekedar prioritas tetapi lebih merupakan monopoli HPH, akan berdampak pada besarnya produksi limbah itu sendiri. Bahwa tidak ada keseriusan dari pemegang HPH untuk berusaha meminimalkan jumlah limbah kayu dari kegiatan eksploitasi yang mereka kerjakan. Semakin besar limbah dari kegiatan eksploitasi hal tersebut sebenarnya mencerminkan betapa buruknya sistem eksploitasi yang diterapkan di lapangan, bahkan dapat dikatakan bahwa pemegang HPH itu sangat tidak perduli dengan kelestarian sumber daya alam hutan atau efisiensi sumber daya.
Oleh karena itu perlu diambil langkah-langkah kebijakan yang dapat diterapkan secara efektif atau dalam kaitannya dengan pemanfaatan limbah kayu baik yang berupa limbah eksploitasi (di blok-blok tebangan) maupun limbah industri diserahkan sepenuhnya kepada daerah.
C.PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT
Peranan sektor kehutanan dalam percepatan pembangunan Kalimantan Tengah seperti tahun-tahun sebelumnya, maka untuk ke depan semakin memegang peranan yang sangat strategis. Disamping sebagai kontributor utama PDRB Propinsi Kalimantan Tengah, sektor kehutanan juga memainkan peranan yang multiflier effect terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat dan daerah, terlebih-lebih di era Otonomi Daerah yang telah dimulai tahun 2001 ini.
Pembangunan kehutanan di Kalimantan Tengah secara konsisten akan dilaksanakan dengan paradigma baru yakni pengelolaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat dan menjamin terselenggaranya asas-asas pemerataan, keadilan dan berkelanjutan dalam tatanan sistem pemerintahan yang desentralistik yang dijiwai oleh semangat reformasi dan otonomi. Hal tersebut mengandung suatu pengertian bahwa tujuan utama atau the main focus dari pembangunan kehutanan yang dilaksanakan adalah untuk kesejahteraan masyarakat.
Bahwa untuk selanjutnya masyarakat harus ditempatkan sebagai aktor terdepan dalam kegiatan pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai penonton seperti sebelumnya. Oleh karena itu maka pemberdayaan masyarakat menjadi central point dari seluruh aspek kegiatan pengelolaan dan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Bahwa masyarakat harus “disiapkan” dalam arti diberdayakan sesuai dengan potensi obyektif yang dimilikinya dengan jalan mengeliminir seminimal mungkin segala bentuk kelemahan yang selama ini mereka miliki.
Untuk tujuan tersebut maka langkah strategis yang ditempuh adalah dengan menggalang program kemitraan pengusahaan hutan antara para pemegang HPH/HPHTI dengan masyarakat setempat.
Sebagaimana konsep Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah yang berjudul Kemitraan Koperasi dan HPH, yang kemudian disempurnakan menjadi Kemitraan Masyarakat dan HPH, potensi kemitraan pengusahaan hutan yang dapat dikembangkan di Kalimantan Tengah, dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1)Kemitraan Kepemilikan Saham (Share holder Partnership)
2)Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership), yang terdiri atas :
a)Kemitraan pada Kegiatan Utama pengusahaan hutan (Main Activity Partnership)
b)Kemitraan pada Kegiatan Penunjang pengusahaan hutan (Complementary Activity Partnership)
c)Kemitraan pada Kegiatan Lainnya yang dilaksanakan oleh HPH (Miscellaneous Activity Partnership).
Mengingat kondisi dan potensi obyektif desa baik yang berada di sekitar hutan maupun di dalam areal hutan dimana kegiatan pengusahaan hutan oleh HPH berlangsung yang serba “kurang” dan “terbatas” baik dari segi modal, pengalaman, keahlian, pendidikan dan ketrampilan, maka Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership) dipandang merupakan pilihan yang ideal dalam rangka “memberdayakan” (empowering) masyarakat setempat.
Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership) tersebut bertujuan untuk “mempersiapkan” masyarakat setempat, baik dalam hal permodalan, pengalaman dan keahlian di bidang pengelolaan dan pengusahaan hutan secara lestari, hingga pada saatnya nanti mereka mampu berdiri sendiri (kuat modal dan cukup pengalaman maupun keahlian).
Khusus dalam hal Kemitraan Kepemilikan Saham (Share holder Partnership), telah diatur secara tegas dan jelas dalam PP No. 6 Tahun 1999 (meskipun perlu penyesuaian sesuai UU No. 41 Tahun 2000), SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan masing-masing No. 307/Kpts-II/1999, No. 312/Kpts-II/1999 dan No. 313/Kpts-II/1999 yang mewajibkan setiap pemilik HPH (HPH baru atau HPH perpanjangan) untuk mengalokasikan minimal 20 % sahamnya kepada masyarakat setempat melalui lembaga koperasi, dimana 10 % diantaranya langsung berupa hibah pada saat SK HPH diterbitkan.
Realisasi kepemilikan saham HPH oleh masyarakat setempat tersebut sampai dengan tahun 2001 di Kalimantan Tengah terdapat pada 14 (empat belas) unit HPH baru, yang umumnya berupa :
- Saham milik koperasi masyarakat sekitar hutan, dan
- Saham milik pondok pesantren di Kabupaten setempat.
Sedangkan dalam hal Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership) antara HPH dengan masyarakat setempat, yang selama ini telah berjalan, seperti :
- Kerjasama pemiliran kayu (rakit)
- Kerjasama penebangan
- Kerjasama pemasaran hasil-hasil pertanian (ladang)
- Kerjasama pendidikan.
Adanya bentuk kerjasama tersebut masih sangat terbatas, baik dalam hal scope kegiatannya maupun manfaat yang diperoleh. Pada sisi lain, sebenarnya potensi kemitraan yang ada sangat luas dan menjanjikan seperti yang tertuang dalam konsep Kemitraan Masyarakat dan HPH tersebut.
Dalam hal kepemilikan saham koperasi pada HPH (di Kalimantan Tengah pada saat ini terdapat 14 HPH baru yang mengacu pada ketentuan tersebut di atas) maka setidaknya terdapat 2 (dua) hal yang perlu mendapat perhatian serius kita bersama, yakni :
- Bahwa lembaga koperasi yang diperbolehkan memiliki saham hibah pada HPH adalah koperasi yang beranggotakan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar areal kerja HPH yang bersangkutan serta berkedudukan di desa terdekat dan atau bahkan yang berada di dalam areal HPH. Jangan sampai terjadi HPH-nya beroperasi di Kalimantan Tengah, tetapi koperasi mitranya justru adalah koperasi di Jawa.
- Pemerintah Pusat baik Departemen Kehutanan maupun departemen terkait lainnya seperti Departemen Keuangan hendaknya memberikan perhatian khusus dan prioritas penyelesaian masalah kepemilikan saham koperasi pada HPH tersebut, bukan hanya sekedar “retorika” dalam aturan saja. Pengukuhan atau pengesahan kepemilikan saham koperasi masyarakat tersebut sangat penting artinya sehingga pada saatnya koperasi tersebut dapat menerima bagian deviden yang menjadi haknya setiap tahun. Apabila kebijakan tersebut disamaratakan dengan lembaga usaha lainnya, maka tentu saja masyarakat sebagai anggota koperasi tidak akan mampu merealisasi sejumlah modal awal disetor atas persen saham yang dihibahkan tersebut.
E.DUKUNGAN PEMERINTAH PUSAT
1.Umum
Meskipun potensi berdasarkan kondisi obyektif Propinsi Kalimantan Tengah di sektor kehutanan memang sangat menjanjikan untuk dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal pada waktu-waktu yang akan datang, terlebih-lebih dalam era Otonomi Daerah, namun seiring dengan besarnya harapan di sektor kehutanan tersebut diyakini bahwa tantangan maupun hambatan ke depan akan semakin kompleks baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk itu maka dukungan dari Pemerintah Pusat khususnya Departemen Kehutanan sangat diharapkan guna mendukung kelancaran pembangunan sektor kehutanan di Propinsi Kalimantan Tengah yang berbasiskan kerakyatan dan berwawasan lingkungan secara lestari. Terdapat sedikitnya 3 (tiga) hal utama yang perlu mendapat dukungan dari pihak Pemerintah Pusat, yaitu masalah kebijakan, data dan informasi serta pembiayaan.
a.Kebijakan
Disadari bahwa pelaksanaan pembangunan secara berkesinambungan oleh suatu daerah tidak mungkin dapat berdiri sendiri. Bahwa pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam pengertian tersebut maka kebijakan nasional akan menjadi payung dari kebijakan di daerah hingga operasionalisasinya di lapangan. Meskipun demikian, hendaknya dalam penyusunan kebijakan di tingkat pusat hendaknya selalu memperhatikan karakteristik setiap daerah dan kondisi obyektif yang ada dengan selalu mengedepankan aspek pemberdayaan masyarakat.
Suatu kebijakan sektor kehutanan tentunya akan mudah dilaksanakan atau dijabarkan lebih lanjut di daerah kalau hal tersebut tertuang dalam suatu regulasi yang mantap dan obyektif. Obyektifitas disini akan menjadi sangat penting artinya di tahun-tahun yang akan datang seiring dengan telah diberlakukannya Otonomi Daerah, termasuk bagaimana mengakomodasi berbagai tuntutan dan kebutuhan daerah yang pokok, yang bila tidak terpenuhi pada gilirannya akan berimbas hingga ke skala nasional bahkan internasional.
Dalam waktu dekat, semestinya penjabaran Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ke dalam Peraturan Pemerintah segera dapat diselesaikan, mengingat hal tersebut telah tertunda cukup lama.
Hal penting lainnya adalah bahwa dalam penyusunan kebijakan, Pemerintah Pusat hendaknya benar-benar konsekwen dengan pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah menjadi komitmen bersama secara nasional.
b.Data dan Informasi
Salah satu kendala yang sering dihadapi di daerah adalah terbatasnya data dan informasi maupun keterlambatan aliran arus data dan informasi yang sampai di daerah, terutama yang menyangkut kebijakan-kebijakan nasional, regional bahkan internasional termasuk kesepakatan-kesepakatan global. Hal tersebut bukan disebabkan karena kendala media komunikasi mengingat di Propinsi Kalimantan Tengah berbagai fasilitas untuk itu telah established dan exist, seperti telepon, faxcimili, e-mail, internet, Geograpichal Information System (GIS), dan lain-lain, tetapi lebih dimungkinkan karena mekanisme dan managemen distribusi data dan informasi di tingkat pusat atau bahkan aspek sosialisasi ke daerah.
Hal tersebut (data dan informasi) bukan hanya untuk hal-hal yang terkait dengan regulasi kehutanan, tetapi juga menyangkut data dan informasi aktual yang sangat dibutuhkan di daerah.
Sebagai contoh, dalam hal penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2001 ini, Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah cq. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah secara aktif dan terus menerus berusaha mengumpulkan data hotspot yang diliput oleh satelit NOAA dengan jalan membuka homepage Departemen Kehutanan di internet setiap hari sebagai bahan koordinasi dan langkah tindak lanjut di daerah. Sayangnya, data yang ada di homepage tersebut justru sudah tidak valid lagi (tertinggal 2 hari) dan tidak menyajikan data koordinat hotspot dimaksud. Beruntung kemudian dapat diperoleh akses ke sumber pengolah data hotspot satelit NOAA tersebut sehingga data dan informasi harian dapat diperoleh.
c.Pembiayaan
Bagaimanapun juga dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan di daerah sangat memerlukan dukungan pembiayaan (dana) dari Pemerintah Pusat. Dengan dilandasi pemahaman bahwa hutan dengan segala potensinya yang ada di Kalimantan Tengah bukan semata-mata menjadi milik Propinsi Kalimantan Tengah, maka keberhasilan pembangunan kehutanan di Propinsi Kalimantan Tengah tidak terlepas dari dukungan dana dari pemerintah pusat, yang selama ini turun ke daerah dalam bentuk proyek-proyek pembangunan tetapi dirasakan masih jauh dari cukup sesuai dengan kebutuhan yang ada. Tidak jarang terjadi pemotongan usulan anggaran yang mengakibatkan tertundanya bahkan tehambatnya program-program yang telah direncanakan sebelumnya.
Hal mendasar lainnya adalah dukungan dana dari pusat untuk hal-hal yang sifatnya tidak terencana sebelumnya (contingency), atau sebagai “buah” dari suatu kebijakan tertentu dalam suatu waktu tertentu yang terkait dengan kebijakan yang berasal dari Pemerintah Pusat yang dilaksanakan di daerah.
Penanganan masalah Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), kasus illegal logging bahkan bencana asap misalnya, memerlukan dana yang tidak sedikit dimana pihak Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah maupun Pemerintah Kabupaten setempat setidaknya dimasa transisi ini tidak memiliki ketersediaan dana yang cukup. Untuk itu diharapkan Pemerintah Pusat cq. Departemen Kehutanan dapat mengalokasikan semacam Dana Contingency yang diperhitungkan berdasarkan luas kawasan hutan di Propinsi yang bersangkutan serta permasalahan yang dihadapi.
2.Khusus
a.Penertiban TNTP
Text Box: Gambar 15 : Induk orang utan dan anaknya berbagi makanan yang terancam tersingkir di habitatnya
Dalam hal penertiban Taman Nasional Tanjung Putting (TNTP), mengacu pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan kawasan TNTP maupun kawasan konservasi lainnya baik secara teknis maupun operasional termasuk pembiayaannya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan. Namun yang terjadi selama ini terkesan pusat tidak concern dan commited dalam menertiban kawasan tersebut yang tidak saja merupakan asset daerah tetapi lebih merupakan asset nasional bahkan internasional, jutsru sebaliknya ada kecenderungan seluruh langkah yang telah ditempuh oleh Pemerintah Propinsi dan Kabupaten selama ini dianggap gagal atau tidak membuahkan hasil secara significant.
Untuk selanjutnya di waktu-waktu yang akan datang, sudah semestinya Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan tidak tinggal diam dan menunggu tetapi terjun langsung dalam upaya-upaya penertiban Kawasan TNTP secara proaktif dan nyata dengan senantiasa menggalang koordinasi dengan pihak Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah serta Kabupaten setempat.
b. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (DAK-DR 40 %)
Dipahami bahwa kebijakan Dana Alokasi Khusus dari Dana Reboisasi sebesar 40 % (DAK-DR 40 %) untuk program rehabilitasi hutan dan lahan merupakan implementasi dari Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Artinya bahwa meski tampaknya alokasi dana tersebut mengalir dari pusat, tetapi hal tersebut sebenarnya merupakan porsi atau hak daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) sebaiknya tidak menerapkan standar ganda dengan membuat suatu kebijakan mengenai pembatasan alokasi DAK-DR 40 % porsi daerah tersebut. Artinya pada satu sisi alokasi DAK-DR 40 % tersebut diserahkan ke daerah sesuai dengan Undang-Undang, sementara di sisi lain Pemerintah Pusat membatasi penggunaannya oleh daerah seperti yang diatur dalam Pedoman Umum DAK-DR.
Hal tersebut perlu disadari bersama dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) mengingat bahwa dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak semata-mata berupa kegiatan fisik-teknis di lapangan, tetapi harus merupakan suatu sinergi dengan kegiatan-kegiatan pra kondisi non fisik-teknis seperti kegiatan penelitian, pelatihan dan pemantauan - evaluasi yang tentu saja juga memerlukan dukungan dana secara proporsional, yang untuk Kalimantan Tengah dengan kondisi obyektifnya dibutuhkan sekitar 5 – 10 % dari alokasi DAK-DR 40 % tersebut yang dikelola di Propinsi.
Subscribe to:
Posts (Atom)