2010/10/14

PROGRAM SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL)

Pendahuluan
Sebagaimana telah disampaikan kepada publik oleh Menteri Kehutanan dan telah pula disebarluaskan melalui media cetak maupun elektronik, bahwa Departemen Kehutanan akan memberlakukan Program Sertifikasi PHPL secara wajib bagi seluruh HPH di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penjelasan tentang status program sertifikasi wajib tersebut dikaitkan dengan telah adanya Program Sertifikasi PHPL yang bersifat sukarela yang telah dikembangkan dan diimplementasikan lebih dahulu oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Program Sertifikasi “Self Declare” yang akan dikembangkan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Program sertifikasi berdasarkan sistem LEI ini bersifat sukarela (voluntary), yang dilatarbelakangi oleh tuntutan dari para penggiat lingkungan dan pasar (konsumen) internasional untuk menginternalisasikan masalah lingkungan (pengelolaan hutan lestari) ke dalam mekanisme pasar melalui instrumen sertifikasi.
Sebagai bagian dari tugas dan fungsi pemerintah (regulasi, fasilitasi dan supervisi) untuk mendorong percepatan pencapaian pengelolaan hutan lestari, Departemen Kehutanan akan memberlakukan Program Sertifikasi PHPL secara wajib bagi seluruh HPH atau Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Indonesia. Program Sertifikasi PHPL tersebut merupakan sarana penilaian kinerja HPH dan IUPHHK yang akan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk menetapkan status ijin HPH atau IUPHHK.
Sementara itu, APHI juga sedang merencanakan untuk membangun Sistem/Mekanisme sertifikasi “Self Declare” yang akan diberlakukan terhadap anggotanya untuk mengetahui intensitas kinerja PHPL yang telah dicapai. Mekanisme sertifikasi ini diarahkan untuk membina dan membantu para anggotanya dalam upaya mempercepat pencapaian pengelolaan hutan lestari.
LEI, Departemen Kehutanan dan APHI sesuai dengan ruang lingkup tugas dan fungsi masing-masing, berusaha mengembangkan sistem sertifikasi yang meskipun mempunyai latar belakang, meknisme dan tujuan yang berbeda, dipercaya akan memberikan sinergi yang dapat mendorong percepatan pencapaian pengelolaan hutan produksi lestari.
Program Sertifikasi PHPL (LEI)
Diawali dengan keprihatinan akan besarnya laju kerusakan hutan tropis dunia, beberapa kelompok penggiat lingkungan dan konsumen kayu tropis di negara-negara maju (Amerika dan Eropa) menuntut agar diberlakukan program sertifikasi (sebagai instrumen pasar) terhadap produk hutan untuk dapat menahan laju kerusakan hutan tersebut. Sebagaimana tuntutan pasar (market driven), Sertifikasi PHPL harus memenuhi prinsip independensi, non-diskriminiatif, obyektif dan transparan, yang implemen-tasinya bersifat sukarela (voluntary). Untuk memenuhi prinsip-prinsip sertifikasi tersebut, maka pengembangannya dilakukan oleh LEI sebagai lembaga independen dengan melibatkan para pihak (pemerintah, asosiasi, LSM, perguruan tinggi, pelaku usaha, dan sebagainya). Karena sertifikasi yang dikembangkan oleh LEI merupakan market driven yang sifatnya sukarela, maka produsen perlu mempertimbangkan untuk memenuhi atau tidak tuntutan sertifikasi tersebut sesuai dengan kemampuan dan segmen (pangsa) pasar yang akan dimasuki.
LEI telah menyelesaikan pengembangan Sistem Sertifikasi PHPL untuk hutan alam dan telah diimplementasikan. Dalam upaya membangun kredibilitas sistem di forum/pasar internasional, LEI telah mengadakan MoU dengan Forest Stewardship Council/FSC (badan pengembang sistem dan badan akreditasi internasional) yang diimplementasikan melalui Program Sertifikasi Bersama (Joint Certification Program/JCP). Dalam hal penerapan Sertifikasi sebagai instrumen pasar yang bersifat sukarela, maka kredibilitas sistem menjadi sangat penting agar program sertifikasi tersebut dapat berjalan sebagaimana tujuan awal pengembangannya.
Didalam implementasinya, LEI akan bertindak sebagai pengembang sistem dan sebagai Badan Akreditasi yang akan memberikan akreditasi kepada Lembaga Sertifikasi yang akan melaksanakan sertifikasi terhadap Unit Manajemen/HPH. Di dalam mekanisme sertifikasi tersebut dilibatkan peran serta para pihak dan pendapat publik.
Program Sertifikasi PHPL (Departemen Kehutanan)
Berbeda dengan Sertifikasi PHPL yang merupakan tuntutan pasar (market driven) yang bersifat sukarela, maka prinsip-prinsip kelestarian yang menjadi dasar pengelolaan hutan adalah wajib (mandatory) dilaksanakan sesuai dengan aturan main berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Untuk mengetahui/mengevaluasi secara obyektif tingkat kepatuhan terhadap aturan main dan tingkat kinerja yang dicapai oleh para pemegang ijin HPH dan IUPHHK, maka Departemen Kehutanan akan memberlakukan Program Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Pengelolaan (yang juga dikenal sebagai Sertifikasi PHPL wajib) bagi seluruh pemegang HPH dan IUPHHK di Indonesia. Di dalam implementasi Program Penilaian Kinerja PHPL wajib ini, Dephut akan melibatkan/memanfaatkan jasa Lembaga Penilai Independen (LPI) sebagai pelaksana penilaian untuk memperoleh hasil yang lebih optimal.
Program Penilaian Kinerja PHPL yang diberlakukan secara wajib tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dan fungsi Dephut (regulasi, fasilitasi dan supervisi) di dalam pengusahaan hutan. Melalui program Penilaian Kinerja PHPL wajib ini, diharapkan akan dapat diperoleh data dan informasi tentang tingkat kepatuhan dan kinerja dari masing-masing unit HPH dan IUPHHK sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan status ijin HPH atau ijin IUPHHK. Dengan demikian program Penilaian Kinerja PHPL ini adalah merupakan instrumen internal pemerintah (Departemen Kehutanan) dalam upaya penegakan peraturan perundangan, khususnya di dalam menerapkan prinsip-prinsip kelestarian di dalam pengusahaan hutan. Karena sifat kepentingan internal tersebut, maka program sertifikasi wajib ini tidak terkait dengan masalah teknis perdagangan hasil hutan dan tidak diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar (sebagaimana program sertifikasi sukarela).
Program Sertifikasi PHPL wajib tersebut akan dilaksanakan berdasarkan sistem/ mekanisme, kriteria dan indikator yang akan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai ketentuan wajib bagi seluruh pemegang ijin HPH atau IUPHHK.
Program Sertifikasi “Self Declare” (APHI)
APHI sebagai asosiasi bertanggungjawab atas kepentingan para anggotanya, yang antara lain akan diimplementasikan melalui program Sertifikasi Pernyataan Diri (Self Declare Certification) terhadap anggotanya untuk mengetahui intensitas kinerja PHPL yang telah dicapai. Melalui evaluasi intensitas kinerja PHPL terhadap masing-masing anggotanya tersebut, APHI akan menginformasikan posisi masing-masing anggotanya terhadap pencapaian PHPL dan memberikan rekomendasi yang diperlukan (melalui tim pakar yang dibentuk). Melalui program ini diharapkan APHI akan dapat mendorong kesiapan para anggotanya untuk menghadapi sertifikasi wajib (Penilaian Kinerja PHPL) dari Dephut maupun sertifikasi sukarela yang merupakan tuntutan pasar.
Karena tujuan program sertifikasi ini adalah untuk pembinaan, maka kriteria dan indikator yang digunakan sebagai dasar evaluasi diarahkan pada indikator input dan proses, bukan pada output.
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka akan ada 3 skema (scheme) sertifikasi PHPL yang mempunyai pendekatan dan tujuan berbeda, yaitu :
1. Sertifikasi oleh Pemerintah (Certification by Government) atau program Penilaian Kinerja PHPAL yang akan diberlakukan secara wajib (mandatory/ compulsory) oleh Departemen Kehutanan.
2. Sertifikasi oleh Pihak Ketiga (Certification by Third Party) yang diberlakukan secara sukarela (voluntary) oleh Lembaga Sertifikasi, yang merupakan tuntutan pasar.
3. Sertifikasi Pernyataan Diri (Self Declare Certification), oleh masing masing HPH berdasarkan intensitas kinerja PHPL yang dicapainya.
Pengembangan dan implementasi ketiga sistem tersebut mempunyai latar belakang, mekanisme dan tujuan yang berbeda, namun demikian memiliki kesamaan, yaitu dalam pengembangan kriteria dan indikator untuk masing-masing skema sertifikasi tersebut tetap berpegang pada prinsip-prinsip kelestarian di dalam pengelolaan hutan produksi (kelestarian fungsi produksi, ekologi dan sosial). Sehubungan dengan hal tersebut, pengembangan dan implementasi ketiga sistem dimaksud diharapkan akan memberikan sinergi bagi percepatan pencapaian pengelolaan hutan produksi lestari di Indonesia.

2010/10/13

FUNGSI DAN MAMFAAT HUTAN KOTA

1. Pelestarian Plasma Nutfah
Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan di masa depan, terutama di bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri. Penguasaannya merupakan keuntungan komparatif yang besar bagi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati (Buku I Repelita V hal. 429). Hutan kota dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan hutan kota dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu. Salah satu tanaman yang langka adalah nam-nam (Cynometra cauliflora).
2. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara
Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.
Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan Kersen mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel dari pada daun yang mempunyai permukaan yang halus (Wedding dkk. dalam Smith, 1981).
Manfaat dari adanya tajuk hutan kota ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota.
3. Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal
Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan (Goldmisth dan Hexter, 1967). diperkirakan sekitar 60-70% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor (Krishnayya dan Bedi, 1986).
Dahlan (1989); Fakuara, Dahlan, Husin, Ekarelawan, Danur, Pringgodigdo dan Sigit (1990) menyatakan damar (Agathis alba), mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam landi (Pithecelobiumdulce), johar (Cassia siamea), mempunyai kemampuan yang sedang tinggi dalam menurunkan kandungan timbal dari udara. Untuk beberapa tanaman berikut ini : glodogan (Polyalthea longifolia) keben (Barringtonia asiatica) dan tanjung (Mimusops elengi), walaupun kemampuan serapannya terhadap timbal rendah, namun tanaman tersebut tidak peka terhadap pencemar udara. Sedangkan untuk tanaman daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dan kesumba (Bixa orellana) mempunyai kemampuan yang sangat rendah dan sangat tidak tahan terhadap pencemar yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.
4. Penyerap dan Penjerap Debu Semen
Debu semen merupakan debu yang sangat berbahaya bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit sementosis. Oleh karena itu debu semen yang terdapat di udara bebas harus diturunkan kadarnya.
Studi ketahanan dan kemampuan dari 11 jenis akan yaitu : mahoni (Swietenia macrophylla), bisbul (Diospyrosdiscolor), tanjung (Mimusops elengi), kenari (Canarium commune), meranti merah (Shorealeprosula), kere payung (Filicium decipiens), kayu hitam (Diospyros clebica), duwet (Eugenia cuminii), medang lilin (Litsea roxburghii) dan sempur (Dillenia ovata) telah diteliti oleh Irawati tahun 1990. Hasil penelitian ini menunjukkan, tanaman yang baik untuk dipergunakan dalam program pengembangan hutan kota di kawasan pabrik semen, karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pencemaran debu semen dan kemampuan yang tinggi dalam menjerap (adsorpsi) dan menyerap (absorpsi) debu semen adalah mahoni, bisbul, tanjung, kenari, meranti merah, kere payung dan kayu hitam. Sedangkan duwet, medang lilin dan sempur kurang baik digunakan sebagai tanaman untuk penghijauan di kawasan industri pabrik semen. Ketiga jenis tanaman ini selain agak peka terhadap debu semen, juga mempunyai kemampuan yang rendah dalam menjerap dan menyerap partikel semen (Irawati, 1990).
5. Peredam Kebisingan
Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara ialah yang mempunyai tajuk yang tebal dengan daun yang rindang (Grey dan Deneke, 1978).
dengan menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengurangi kebisingan, khususnya dari kebisingan yang
sumbernya berasal dari bawah. Menurut Grey dan Deneke (1978), dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%.


6. Mengurangi Bahaya Hujan Asam
Menurut Smith (1985), pohon dapat membantu dalam mengatasi dampak negatif hujan asam melalui proses fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi. Proses gutasi akan memberikan beberapa unsur diantaranya ialah : Ca, Na, Mg, K dan bahan organik seperti glumatin dan gula (Smith, 1981).
Menurut Henderson et al., (1977) bahan an-organik yang diturunkan ke lantai hutan dari tajuk melalui proses troughfall dengan urutan K>Ca> Mg>Na baik untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun jarum.
Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3 apabila tiba di permukaan daun akan mengalami reaksi. Pada saat permukaan daun mulai dibasahi, maka asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca yang terdapat pada daun membentuk garam CaSO4 yang bersifat netral. Dengan demikian pH air dari pada pH air hujan asam itu sendiri. Dengan demikian adanya proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun akan sangat membantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. Hasil penelitian dari Hoffman et al. (1980) menunjukkan bahwa pH air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati tajuk pohon.
7. Penyerap Karbon-monoksida
Bidwell dan Fraser dalam Smith (1981) mengemukakan, kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap gas ini sebesar 12-120 kg/km2/hari.
Mikro organisme serta tanah pada lantai hutan mempunyai peranan yang baik dalam menyerap gas ini (Bennet dan Hill, 1975). Inman dan kawan-kawan dalam Smith (1981) mengemukakan, tanah dengan mikroorganismenya dapat menyerap gas ini dari udara yang semula konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8 x 104 ug/m3) menjadi hampir mendekati nol hanya dalam waktu 3 jam saja.
8. Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen
Hutan merupakan penyerap gas CO2 yang cukup penting, selain dari fito-plankton, ganggang dan rumput laut di samudra. Dengan berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menurunnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun hutan kota untuk membantu mengatasi penurunan fungsi hutan tersebut.
Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan baik hutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas CO2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Dengan demikian proses ini sangat bermanfaat bagi manusia, karena dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses ini menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.
Widyastama (1991) mengemukakan, tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO2 dan penghasil oksigen adalah : damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis) dan beringin (ficus benyamina).
10. Penyerap dan Penapis Bau
Daerah yang merupakan tempat penimbunan sampah sementara atau permanen mempunyai bau yang tidak sedap. Tanaman dapat digunakan untuk mengurangi bau. Tanaman dapat menyerap bau secara langsung, atau tanaman akan menahan gerakan angin yang bergerak dari sumber bau (Grey dan Deneke, 1978). Akan lebih baik lagi hasilnya, jika tanaman yang ditanam dapat mengeluarkan bau harum yang dapat menetralisir bau busuk dan menggantinya dengan bau harum. Tanaman yang dapat menghasilkan bau harum antara lain : Cempaka (Michelia champaka) dan tanjung (Mimusops elengi).
11. Mengatasi Penggenangan
Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami dengan jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapotranspirasi yang tinggi. Jenis tanaman yang memenuhi kriteria ini adalah tanaman yang mempunyai jumlah daun yang banyak, sehingga mempunyai stomata (mulut daun) yang banyak pula.
Menurut Manan (1976) tanaman penguap yang sedang tinggi diantaranya adalah : nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa, Indigofera galegoides, Dalbergia spp., mahoni (Swietenia spp), jati (Tectona grandis), kihujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucanea glauca).
12. Mengatasi Intrusi Air Laut
Kota-kota yang terletak di tepi pantai seperti DKI Jakarta pada beberapa tahun terakhir ini dihantui oleh intrusi air laut.
Pemilihan jenis tanaman dalam pembangunan hutan kota pada kota yang mempunyai masalah intrusi air laut harus betul-betul diperhatikan karena:
1. Penanaman dengan tanaman yang kurang tahan terhadap kandungan garam yang sedang-agak tinggi akan mengakibatkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik, bahkan mungkin akan mengalami kematian.
2. Penanaman dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang tinggi akan menguras air dari dalam tanah, sehingga konsentrasi garam adalah tanah akan meningkat. Dengan demikian penghijauan bukan lagi memecahkan masalah intrusi air asin, malah sebaliknya akan memperburuk keadaannya.
Upaya untuk mengatasi masalah ini sama dengan upaya untuk meningkatkan kandungan air tanah yaitu membangun hutan lindung kota pada daerah resapan air tanah yaitu membangun hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah.
13. Produksi Terbatas
Hutan kota berfungsi in-tangible juga tangible. Sebagai contoh, pohon mahoni di Sukabumi sebanyak 490 pohon telah dilelang dengan harga Rp. 74 juta (Pikiran Rakyat, 18-3-1991). Penanaman dengan tanaman yang menghasilkan biji atau buah yang dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan warga masyarakat dapat meningkatkan taraf gizi/kesehatan dan penghasilan masyarakat. Buah kenari untuk kerajinan tangan. Bunga tanjung diambil bunganya. Buah sawo, kawista, pala, lengkeng, duku, asem, menteng dan lain-lain dapat dimanfaatkan oleh masyarakat guna meningkatkan gizi dan kesehatan warga kota.
14. Ameliorasi Iklim
Salah satu masalah penting yang cukup merisaukan penduduk perkotaan adalah berkurangnya rasa kenyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara di perkotaan.
Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antene pemancar radio, televisi dan lain-lain. sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Grey dan Deneke, 1978 dan Robinette, 1983).
Robinette (1983) lebih jauh menjelaskan, jumlah pantulan radiasi surya suatu hutan sangat dipengaruhi oleh : panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang.
Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari hutan kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:
1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-31,0° C dengan kelembaban 66-92%.
2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-33,1° C dengan kelembaban 62-78%.
3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3-32,1° C dengan kelembaban 62-78%.
Koto (1991) juga telah melakukan penelitian di beberapa tipe vegetasi di sekitar Gedung Manggala Wanabakti. Dari penelitian ini dapat dinyatakan, hutan memiliki suhu udara yang paling rendah, jika dibandingkan dengan suhu udara di taman parkir, padang rumput dan beton.
15. Pengelolaan Sampah
Hutan kota dapat diarahkan untuk pengelolaan sampah dalam hal : (1) sebagai penyekat bau (2) sebagai penyerap bau (3) sebagai pelindung tanah hasil bentukan dekomposisi dari sampah (4) sebagai penyerap zat yang berbahaya yang mungkin terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta bahan beracun dan berbahaya lainnya.
16. Pelestarian Air Tanah
Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar (Bernatzky, 1978). Maka kadar air tanah hutan akan meningkat.
Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah. Di samping itu sistem perakaran dan serasahnya dapat memperbesar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan.
Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah. Dengan demikian hutan kota yang dibangun pada daerah resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat membantu mengatasi masalah air dengan kualitas yang baik.
Menurut Manan (1976) tanaman yang mempunyai daya evapotrnspirasi yang rendah antara lain : cemara laut Casuarina equisetifolia), Ficus elastica, karet (Hevea brasiliensis), manggis (Garcinia mangostana), bungur (Lagerstroemia speciosa), Fragraea fragrans dan kelapa (Cocos nucifera).
Po.K(1+r-c)t-PAM-Pa
La =----------------------------------
z
La : luas hutan kota yang harus dibangun
Po : jumlah penduduk
K : konsumsi air per kapita 1/hari)
r : laju peningkatan pemakaian air
c : faktor pengendali
PAM : kapasitas suplai perusahaan air minum
t : tahun
Pa : potensi air tanah
z : kemampuan hutan kota dalam menyimpan air
17. Penapis Cahaya Silau
Manusia sering dikelilingi oleh benda-benda yang dapat memantulkan cahaya seperti kaca, aluminium, baja, beton dan air. Apabila permukaan yang halus dari benda-benda tersebut memantulkan cahaya akan terasa sangat menyilaukan dari arah depan, akan mengurangi daya pandang pengendara. Oleh sebab itu, cahaya silau tersebut perlu untuk dikurangi.
Keefektifan pohon dalam meredam dan melunakkan cahaya tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatannya. Pohon dapat dipilih berdasarkan ketinggian maupun kerimbunan tajuknya.
18. Meningkatkan Keindahan
Manusia dalam hidupnya tidak saja membutuhkan tersedianya makanan, minuman, namun juga membutuhkan keindahan. Keindahan merupakan pelengkap kebutuhan rohani. Benda-benda di sekeliling manusia dapat ditata dengan indah menurut garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya (Grey dan Deneke, 1978), sehingga dapat diperoleh suatu bentuk komposisi yang menarik.
Benda-benda buatan manusia, walaupun mempunyai bentuk, warna dan tekstur yang sudah dirancang sedemikian rupa tetap masih mempunyai kekurangan yaitu tidak alami, sehingga boleh jadi tidak segar tampaknya di depan mata. Akan tetapi dengan menghadirkan pohon ke dalam sistem tersebut, maka keindahan yang telah ada akan lebih sempurna, karena lebih bersifat alami yang sangat disukai oleh setiap manusia.
Tanaman dalam bentuk, warna dan tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya untuk mendapatkan komposisi yang baik. Peletakan dan pemilihan jenis tanaman harus dipilih sedemikian rupa, sehingga pada saat pohon tersebut telah dewasa akan sesuai dengan kondisi yang ada. Warna daun, bunga atau buah dapat dipilih sebagai komponen yang kontras atau untuk memenuhi rancangan yang nuansa (bergradasi lembut).
Komposisi tanaman dapat diatur dan diletakkan sedemikian rupa, sehingga pemandangan yang kurang enak dilihat seperti : tempat pembuangan sampah, pemukiman kumuh, rumah susun dengan jemuran yang beraneka bentuk dan warna, pabrik dengan kesan yang kaku dapat sedikit ditingkatkan citranya menjadi lebih indah, sopan, manusiawi dan akrab dengan hadirnya hutan kota sebagai tabir penyekat di sana.
19. Sebagai Habitat Burung
Masyarakat modern kini cenderung kembali ke alam (back to nature). Desiran angin, kicauan burung dan atraksi satwa lainnya di kota diharapkan dapat menghalau kejenuhan dan stress yang banyak dialami oleh penduduk perkotaan.
Salah satu satwa liar yang dapat dikembangkan di perkotaan adalah burung. Burung perlu dilestarikan, mengingat mempunyai manfaat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat, antara lain (Hernowo dan Prasetyo, 1989) :
1. Membantu mengendalikan serangga hama,
2. Membantu proses penyerbukan bunga,
3. Mempunyai nilai ekonomi yang lumayan tinggi,
4. Burung memiliki suara yang khas yang dapat menimbulkan suasana yang menyenangkan,
5. Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi rekreasi,
6. Sebagai sumber plasma nutfah,
7. Objek untuk pendidikan dan penelitian.
Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tempat bersarang dan bertelur. Pohon kaliandra di antaranya disenangi burung pengisap madu. Pohon jenis lain disenangi oleh burung, karena berulat yang dapat dimakan oleh jenis burung lainnya.
Menurut Ballen (1989), beberapa jenis tumbuhan yang banyak didatangi burung antara lain :
1. Kiara, caringin dan loa (Ficus spp.) F. benjamina, F. variegata, dan F. glaberrima buahnya banyak dimakan oleh burung seperti punai (Treron sp.).
2. Dadap (Erythrina variegata). Bunganya menghasilkan nektar. Beberapa jenis burung yang banyak dijumpai pada tanaman dadap yangtengah berbunga antara lain : betet (Psittacula alexandri), serindit (Loriculus pusillus), jalak (Sturnidae) dan beberapa jenis burung madu.
3. Dangdeur (Gossampinus heptaphylla). Bunganya yang berwarna merah menarik burung ungkut-ungkut dan srigunting.
4. Aren (Arenga pinnata). Ijuk dari batangnya sering dimanfaatkan oleh burung sebagai bahan untuk pembuatan sarangnya.
5. Bambu (Bambusa spp.). Burung blekok (Ardeola speciosa) dan manyar (Ploceus sp.) bersarang di pucuk bambu. Sedangkan jenis burung lainnya seperti : burung cacing (Cyornis banyumas), celepuk (Otus bakkamoena), sikatan (Rhipidura javanica), kepala tebal bakau ( Pachycephala cinerea) dan perenjak kuning (Abroscopus superciliaris) bertelur pada pangkal cabangnya, di antara dedaunan dan di dalam batangnya.
20. Mengurangi Stress
Kehidupan masyarakat di kota besar menuntut aktivitas, mobilitas dan persaingan yang tinggi. Namun di lain pihak lingkungan hidup kota mempunyai kemungkinan yang sangat tinggi untuk tercemar, baik oleh kendaraan bermotor maupun industri. Petugas lalu lintas sering bertindak galak serta pengemudi dan pemakai jalan lainnya sering mempunyai temperamen yang tinggi diakibatkan oleh cemaran timbal dan karbon-monoksida (Soemarwoto, 1985). Oleh sebab itu gejala stress (tekanan psikologis) dan tindakan ugal-ugalan sangat mudah ditemukan pada anggota masyarakat yang tinggal dan berusaha di kota atau mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi keperluannya saja di kota.
Program pembangunan dan pengembangan hutan kota dapat membantu mengurangi sifat yang negatif tersebut. Kesejukan dan kesegaran yang diberikannya akan menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Cemaran timbal, CO, SOx, NOx dan lainnya dapat dikurangi oleh tajuk dan lantai hutan kota. Kicauan dan tarian burung akan menghilangkan kejemuan. Hutan kota juga dapat mengurangi kekakuan dan monotonitas.
21. Mengamankan Pantai Terhadap Abrasi
Hutan kota berupa formasi hutan mangrove dapat bekerja meredam gempuran ombak dan dapat membantu proses pengendapan lumpur di pantai. Dengan demikian hutan kota selain dapat mengurangi bahaya abrasi pantai, juga dapat berperan dalam proses pembentukan daratan.
22. Meningkatkan Industri Pariwisata
Bunga bangkai (Amorphophallus titanum) di Kebun raya Bogor yang berbunga setiap 2-3 tahun dan tingginya dapat mencapai 1,6 m dan bunga Raflesia Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik bagi turis domestik maupun manca-negara. Tamu asing pun akan mempunyai kesan tersendiri, jika berkunjung atau singgah pada suatu kota yang dilengkapi dengan hutan kota yang unik, indah dan menawan.
23. Sebagai Hobi dan Pengisi Waktu Luang
Monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kehidupan di kota besar perlu diimbangi oleh kegiatan lain yang bersifat rekreatif, akan dapat menghilangkan monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kerja.

B. TIPE DAN BENTUK HUTAN KOTA
1. Tipe Hutan Kota
Hutan kota yang dibangun pada areal pemukiman bertujuan utama untuk pengelolaan lingkungan pemukiman, maka yang harus dibangun adalah hutan kota dengan tipe pemukiman. Hutan kota tipe ini lebih dititik-beratkan kepada keindahan, penyejukan, penyediaan habitat satwa khususnya burung, dan tempat bermain dan bersantai.
Kawasan industri yang memiliki kebisingan yang tinggi dan udaranya tercemar, maka harus dibangun hutan kota dengan tipe kawasan industri yang mempunyai fungsi sebagai penyerap pencemar, tempat istirahat bagi pekerja, tempat parkir kendaraan dan keindahan.
Kota yang memiliki kuantitas air tanah yang sedikit dan atau terancam masalah intrusi air laut, maka fungsi hutan yang harus diperhatikan adalah sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air. Maka hutan yang cocok adalah hutan lindung di daerah tangkapan airnya.
a. Tipe Pemukiman
Hutan kota di daerah pemukiman dapat berupa taman dengan komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan semak dan rerumputan. Taman adalah sebidang tanah terbuka dengan luasan tertentu di dalamnya ditanam pepohonan, perdu, semak dan rerumputan yang dapat dikombinasikan dengan kreasi dari bahan lainnya. Umumnya dipergunakan untuk olah raga, bersantai, bermain dan sebagainya.
b. Tipe Kawasan Industri
Suatu wilayah perkotaan pada umumnya mempunyai satu atau beberapa kawasan industri. Limbah dari industri dapat berupa partikel, aerosol, gas dan cairan dapat mengganggu kesehatan manusia. Di samping itu juga dapat menimbulkan masalah kebisingan dan bau yang dapat mengganggu kenyamanan.
Beberapa jenis tanaman telah diketahui kemampuannya dalam menyerap dan menjerap polutan. Dewasa ini juga tengah diteliti ketahanan dari beberapa jenis tanaman terhadap polutan yang dihasilkan oleh suatu pabrik. Dengan demikian informasi ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih jenis-jenis tanaman yang akan dikembangkan di kawasan industri.
c. Tipe Rekreasi dan Keindahan
Manusia dalam kehidupannya tidak hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah seperti makanan dan minuman, tetapi juga berusaha memenuhi kebutuhan rohaniahnya, antara lain rekreasi dan keindahan. Rekreasi dapat didefinisikan sebagai setiap kegiatan manusia untuk memanfaatkan waktu luangnya (Douglass, 1982). Pigram dalam Mercer (1980) mengemukakan bahwa rekreasi dapat dibagi menjadi dua golongan yakni : (1) Rekreasi di dalam bangunan (indoor recreation) dan (2) Rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation). Brockman (1979) mengemukakan, rekreasi dalam bangunan yaitu mendatangkan pengalaman baru, lebih menyehatkan baik jasmani maupun rohani, serta meningkatkan ketrampilan.
Dewasa ini terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan minat penduduk perkotaan untuk rekreasi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan peningkatan pendapatan, peningkatan sarana transportasi, peningkatan sistem informasi baik cetak maupun elektronika, semakin sibuk dan semakin besar kemungkinan untuk mendapat stress.
Rekreasi pada kawasan hutan kota bertujuan untuk menyegarkan kembali kondisi badan yang sudah penat dan jenuh dengan kegiatan rutin, supaya siap menghadapi tugas yang baru. Untuk mendapatkan kesegaran diperlukan suatu masa istirahat yang terbebas dari proses berpikir yang rutin sambil menikmati sajian alam yang indah, segar dan penuh ketenangan.
d. Tipe Pelestarian Plasma Nutfah
Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Bentuk hutan kota yang memenuhi kriteria ini antara lain : kebun raya, hutan raya dan kebun binatang. Ada 2 sasaran pembangunan hutan kota untuk pelestarian plasma nutfah yaitu :
1. Sebagai tempat koleksi plasma nutfah, khususnya vegetasi secara ex-situ.
2. Sebagai habitat, khususnya untuk satwa yang akan dilindungi atau dikembangkan
Manusia modern menginginkan back to nature. Hutan kota dapat diarahkan kepada penyediaan habitat burung dan satwa lainnya. Suatu kota sering kali mempunyai kekhasan dalam satwa tertentu, khususnys burung yang perlu diperhatikan kelestariannya. Untuk melestarikan burung tertentu, maka jenis tanaman yang perlu ditanam adalah yang sesuai dengan keperluan hidup satwa yang akan dilindungi atau ingin dikembangkan, misalnya untuk keperluan bersarang, bermain, mencari makan ataupun untuk bertelur.
Hutan yang terdapat di pesisir pantai menghasilkan bahan organik. Dedaunan yang jatuh ke air laut kemudia dapat berubah menjadi detritus. Pada permukaan detritus dapat menjumpai mikroorganisme air. Sebagian hewan merupakan pemakan detritus (detritus feeder). Nampaknya organisme yang memakan detritus ini, sesungguhnya memangsa mikroorganismenya, karena mikroorganisme mengandung protein, karbohidrat dan lain-lain. Apabila hutan ini hilang, maka detritus tidak tersedia lagi dan akibatnya hewan pemakan detritus pun akan musnah.
e. Tipe Perlindungan
Selain dari tipe yang telah disebutkan di atas, areal kota dengan mintakat ke lima yaitu daerah dengan kemiringan yang cukup tinggi yang ditandai dengan tebing-tebing yang curam ataupun daerah tepian sungai perlu dijaga dengan membangun hutan kota agar terhindar dari bahaya erosi dan longsoran.
Hutan kota yang berada di daerah pesisir dapat berguna untuk mengamankan daerah pantai dari gempuran ombak laut yang dapat menghancurkan pantai. Untuk beberapa kota masalah abrasi pantai ini merupakan masalah yang sangat penting.
Kota yang memiliki kerawanan air tawar akibat menipisnya jumlah air tanah dangkal dan atau terancam masalah intrusi air laut, maka hutan lindung sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air harus dibangun di daerah resapan airnya. Dengan demikian ancaman bahaya intrusi air laut dapat dikurangi.
f. Tipe Pengamanan
Yang dimaksudkan hutan kota dengan tipe pengamanan adalah jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan. Dengan menanam perdu yang liat dan dilengkapi dengan jalur pohon pisang dan tanaman yang merambat dari legum secara berlapis-lapis, akan dapat menahan kendaraan yang keluar dari jalur jalan. Sehingga bahaya kecelakaan karena pecah ban, patah setir ataupun karena pengendara mengantuk dapat dikurangi.
Pada kawasan ini tanaman harus betul-betul cermat dipilih yaitu yang tidak mengundang masyarakat untuk memanfaatkannya. Tanaman yang tidak enak rasanya seperti pisang hutan dapat dianjurkan untuk ditanam di sini.
2. Bentuk Hutan Kota
a. Jalur Hijau
Pohon peneduh jalan raya, jalur hijau di bawah kawat listrik tegangan tinggi, jalur hijau di tepi jalan kereta api, jalur hijau di tepi sungai di dalam kota atau di luar kota dapat dibangun dan dikembangkan sebagai hutan kota guna diperoleh manfaat kualitas lingkungan perkotaan yang baik. Tanaman yang ditanam pada daerah di bawah jalur kawat listrik dan telepon diusahakan yang rendah saja, atau boleh saja dengan tanaman yang dapat menjulang tinggi, namun pada batas ketinggian tertentu harus diberikan pemangkasan.
Kawasan riparian seperti : delta sungai, kanal, saluran irigasi, tepian danau dan tepi pantai dapat merupakan bagian lokasi dari kegiatan pengembangan hutan kota. Penanaman tanaman di kawasan ini diharapkan dapat memperbaiki kuantitas dan kualitas air serta untuk memperkecil erosi.
Seperti telah disebutkan di atas, jalur hijau di tepi jalan bebas hambatan yang terdiri dari jalur tanaman pisang dan jalur tanaman yang merambat serta tanaman perdu yang liat yang ditanam secara berlapis-lapis diharapkan dapat berfungsi sebagai penyelamat bagi kendaraan yang keluar dari badan jalan. Sedangkan pada bagian yang lebih luar lagi dapat ditanami dengan tanaman yang tinggi dan rindang untuk menyerap pencemar yang diemisikan oleh kendaraan bermotor.
b. Taman Kota
Taman dapat diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata sedemikian rupa, baik sebagian maupun semuanya hasil rekayasa manusia untuk mendapatkan komposisi tertentu yang indah.
Setiap jenis tanaman mempunyai karakteristik tersendiri baik menurut bentuk, warna dan teksturnya. Ada pohon yang bentuk tajuknya kecil tinggi dan lurus (cemara lilin), tajuk pohon berbentuk piramida (cemara) dan ada juga yang bentuk tajuknya besar, bulat dan rindang (beringin).
Tekstur daun dapat pula dijadikan bahan pertimbangan dalam suatu komposisi taman. Ada daun dengan tekstur yang kasar (Ficus elastica), tekstur sedang (duren) dan ada yang halus (lamtoro).
Bentuk percabangan juga dapat dijadikan sebagai komponen dari suatu komposisi. Ada beberapa bentuk percabangan seperti : mendatar, menyudut (acute), menjumbai (weeping) dan tegak.
c. Kebun dan Halaman
Jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman biasanya dari jenis yang dapat menghasilkan buah seperti : mangga, durian, sawo, rambutan, jambu, pala, jeruk, delima, kelapa dan lain-lain serta dari jenis yang tidak diharapkan hasil buahnya seperti : cemara, palem, pakis, filisium dan beberapa jenis lainnya.
Halaman rumah dapat memberikan prestise tertentu. Oleh sebab itu halaman rumah ditata apik sedemikian rupa untuk mendapatkan citra, kebanggaan dan keindahan tertentu bagi yang empunya rumah maupun orang lain yang memandang dan menikmatinya. Maka halaman tidak hanya ditanam dengan tanaman seperti tersebut di atas, namun dilengkapi juga dengan tanaman bebungaan yang indah. Tanaman lainnya yang dapat dijumpai adalah : sayuran, empon-empon dan tanaman apotik hidup lainnya. Pada halaman rumah pun dapat dijumpai unggas, ikan dan heawan lainnya.
Menurut Soemarwoto (1983) tanaman halaman rumah mempunyai fungsi integrasi antara fungsi alam hutan dengan fungsi sosial-budaya-ekonomi masyarakat.
d. Kebun Raya, Hutan Raya dan Kebun Binatang
Kebun raya, hutan raya dan kebun binatang dapat dimasukkan ke dalam salah satu bentuk hutan kota.
Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, maupun dari daerah lain, baik dari daerah lain di dalam negeri maupun di luar negeri.Soemarwoto (1983) berpendapat, kebun raya ada yang bersifat ekonomi dan yang bertujuan utama untuk ilmiah.
e. Hutan Lindung
Mintakat kota ke lima yaitu darah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan akan abrasi air laut, hendaknya dijadikan hutan lindung.
f. Kuburan dan Taman Makam Pahlawan
Pada tempat pemakaman banyak ditanam pepohonan. Nampaknya sebagai manifestasi kecintaan orang yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal tak akan pernah berhenti, selama pohon tersebut masih tegak berdiri. Personifikasi ini nampaknya menyatakan bahwa dengan melalui tanaman dapat digambarkan bahwa kehidupan tidaklah berakhir dengan kematian, namun kematian adalah awal dari kehidupan.
3. Jenis tanaman yang cocok untuk hutan kota
Guna mendapatkan keberhasilan dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup di perkotaan, jenis yang ditanam dalam program pembangunan dan pengembangan hutan kota hendaknya dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh baik dan tanaman tersebut dapat menanggulangi masalah lingkungan yang muncul di tempat itu dengan baik.
Untuk mendapat hasil pertumbuhan tanaman serta manfaat hutan kota yang maksimal, beberapa informasi yang perlu diperhatikan dan dikumpulkan antara lain:
1. Persyaratan edaphis: pH, jenis tanah, tekstur, altitude,salinitas dan lain-lain.
2. Persyaratan meteorologis: suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi matahari.
3. Persyaratan silvikultur: kemudahan dalam hal penyediaan benih dan bibit dan kemudahan dalam tingkat pemeliharaan.
4. Persyaratan umum tanaman untuk hutan kota antara lain :
- Tahan terhadap hama dan penyakit,
- Cepat tumbuh,
- Kelengkapan jenis dan penyebaran jenis,
- Mempunyai umur yang panjang,
- Mempunyai bentuk yang indah,
- Ketika dewasa sesuai dengan ruang yang ada,
- Kompatibel dengan tanaman lain,
- Serbuk sarinya tidak bersifat alergis,
5. Persyaratan untuk pohon peneduh jalan:
- Mudah tumbuh pada tanah yang padat,
- Tidak mempunyai akar yang besar di permukaan tanah,
- Tanah terhadap hembusan angin yang kuat,
- Dahan dan ranting tidak mudah patah,
- Pohon tidak mudah tumbang,
- Buah tidak terlalu besar,
- Serasah yang dihasilkan sedikit,
- Tahan terhadap pencemar dari kendaraan bermotor dan industri,
- Luka akibat benturan mobil mudah sembuh,
- Cukup teduh, tetapi tidak terlalu gelap,
- Kompatibel dengan tanaman lain,
- Daun, bunga, buah, batang dan percabangannya secara keseluruhan indah,
- Mati,
- Membahayakan,
- Saling berhimpitan,
- Pohon terkena penyakit dan dapat mengancam pohon-pohon lain,
- Pohon-pohon pada jalur jalan dan bangunan,
- Mengganggu jalur listrik dan telepon.

Beberapa metoda yang dapat dipergunakan untuk menebang pohon adalah :
a. Tumpangan (Toping)
Cara ini sangat biasa dipakai untuk menebang kayu di hutan. Penebang (belandong) pertama-tama akan menentukan arah rebah. Takik rebah dan takik balas dibuat baik dengan gergaji maupun dengan kapak. Cara ini hanya dapat dilakukan di daerah yang luas dan jauh dari jalan raya, pemukiman, jalur listrik, telepon dan lain-lain.
b. Penggalan (Sectioning)
Pemanjat pohon yang telah dilengkapi dengan tali pengaman yang dikaitkan ke tubuhnya kemudian memanjat pohon. Pemanjat menuju cabang pertama kemudian memotong dengan gergaji mesin atau kapak dan memotong cabang tersebut. Kemudian naik lagi dan memotong cabang yang lain dengan cara bersandar pada cabang lain yang aman. Demikian selanjutnya, pekerjaan diteruskan sampai ke atas. Pada saat tersebut, orang yang berada di tanah memotong-motong cabang dan ranting yang baru jatuh.
Setelah cabang-cabang terpotong, orang yang berada di bawah mulai membereskan cabang-cabang tersebut. Kemudian pemanjat turun dan pekerjaannya digantikan oleh yang lain untuk memenggal pohon bagian demi bagian yang dimulai dari bagian atas.
Bila pohon yang hendak ditebang memiliki dahan yang panjang, melintang di atas rumah, pagar, tanaman berharga dan kabel listrik, maka salah satu cara adalah dengan menggunakan tali.
Pengikatan, pemotongan dan penurunan, bagian demi bagian, walaupun ketinggalan jaman, tetapi kadang-kadang merupakan jalan yang terbaik.
c. High-lining
Cara lain yang menarik adalah high-lining. Jika pohon yang akan dipotong dikelilingi oleh benda-benda berharga yang tidak dapat disingkirkan, maka cabang dapat dipotong bagian demi bagian dan dijatuh-arahkan ke sasaran yang diinginkan. Cara ini dapat dilakukan dengan jalan menambatkan salah satu ujung tambang yang kuat pada pohon dan ujung lain di lokasi sasaran yang menjadi tempat jatuhnya bagian-bagian pohon. Tambang tersebut diusahakan mempunyai sudut kemiringan yang cukup. Tidak terlalu tajam, agar bagian pohon tidak meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi, namun sebaliknya tidak terlalu landai. Jika sudut kemiringan tambang terlalu landai, maka jatuhnya dahan tersebut mungkin akan terganggu, bahkan terhenti selain itu membutuhkan areal yang lebih jauh. Operasi pemindahan potongan cabang pohon ini berdasarkan gaya gravitasi. Dengan cara ini semua cabang dapat dipindahkan ke tempat lain dengan aman. Penebangan pohon dilakukan seperti pada cara penggalan.
d. Potong bawah (Bottoming)
Penebangan dengan cara menumbangkannya serta pembagian batang bagian demi bagian dari ujung sampai ke pangkal merupakan dua cara standar dalam penebangan pohon. Cara lainnya yang jarang ditemui adalah potong bawah (bottoming). Cara ini merupakan kebalikan dari cara yang telah dijelaskan terlebih dahulu (Haller, 1986).
Teknik ini hanya dapat dilakukan bila ada satu atau lebih pohon lain yang berukuran sama atau lebih besar di dekat pohon yang akan ditebang. Dalam cara ini, tali diikatkan di sekeliling tajuk pohon yang akan ditebang ke pohon yang tidak ditebang. Pohon yang telah diikat dengan tali di sekitar puncaknya kemudian bagian pangkalnya digergaji. Bagian pangkal/bawah dari pohon dipotong dengan posisi tetap berdiri. Panjang bagian batang yang dipotong sesuai dengan yang dikehendaki. Setelah pemotongan pohon diturunkan dengan cara mengulurkan tali sambil menjaga agar batang tetap tegak, kemudian sedikit demi sedikit pohon dipotong lagi. Demikian seterusnya sampai pohon habis terpotong.

Makalah Perkembangan penyakit pada Tanaman

1. PENDAHULUAN
Masalah penyakit tumbuhan akan selalu muncul sepanjang manusia mengusahakan tanaman atau tumbuhan tersebut sebagai tanaman budidaya, dibidang kehutanan khususnya di Indonesia hal ini mulai menjadi bahan pemikiran disaat mulai diusahakannya jenis-jenis tanaman hutan secara monokultur, seperti jati, agathis, pinus, mahoni, sengon, acacia, eucalyptus. Kondisi ini semakin menjadi persoalan jika kerusakan-kerusakan yang terjadi menimbulkan kerugian ekonomi. Kerugian ekonomi dalam jumlah yang besar akibat keruaskan yang disebabkan oleh penyakit secara umum jarang terjadi meskipun pernah ada, dan sebenarnya kerusakan hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dalam jumlah yang besar adalah akibat dari ulah manusia, yaitu seperti terjadinya kebakaran dan penebangan liar. Meskipun demikian kejadian suatu penyakit adalah salah satu proses yang terjadi di alam, sehingga sangat perlu menjadi bahan pemikiran pada saat mengembangkan suatu tanaman dimana manusia berperan didalamnya.
Penyakit sebenarnya adalah suatu proses dimana bagian-bagian tertentu dari organisme tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal dengan sebaik-baiknya karena adanya suatu gangguan. Tanaman dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu secara biologi dan ekonomi maka penyakit tanamanpun mengandung unsur dua sudut pandang ini. Dari segi biologi, tanaman adalah organisme yang melakukan kegiatan fisiologis, sehingga dari segi ini penyakit tanaman adalah penyimpangan dari sifat normal sehingga tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologis seperti biasanya. Rangkaian proses fisiologi itu dapat berupa: (1) pembentukan cadangan makanan bahan dalam bentuk biji (busuk biji), akar dan tunas, (2) pertumbuhan juvenile baik pada semai maupun perkembangan tunas (penyakit layu pucuk dan daun), (3) perpanjangan akar dalam usaha untuk mendapatkan air dan mineral (busuk akar), (4) transportasi air (layu vaskuler), (5) fotosintesis (klorosis, bercak daun), (6) translokasi fotosintat untuk dimanfaatkan oleh sel (kanker) dan (7) integritas structural (busuk gubal, busuk pangkal batang). Dengan terganggunya proses fisiologis ini tanaman memberikan respons dalam bentuk gejala. Adapungejala yang dimunculkan sebagai respons tergangunya proses fisiologis adalah sebagai berikut :
A. Gejala Utama (Main Symptoms)
- Pertumbuhan yang tidak normal, dapat melebihi ukuran normal atau
lebih kecil dari ukuran normal
- Perubahan warna, baik pada daun, batang, akar, buah, bunga.
- Matinya jaringan, bagian-bagian tanaman menjadi mengering
- Layunya bagian dari tubuh tanaman
B. Gejala Lapangan (Field Symptoms)
- Layunya tanaman secara keseluruhan
- Nekrosis (matinya jaringan)
- Perforasi (berlubang)-nya daun
- Gall (bengkak) atau bintil dan bisul
- Kanker
- Bercak daun
- Busuk basah, berair dan busuknya jaringan
- Busuk kering, busuknya jaringan tetapi kering
- Malformation (perubahan bentuk)
- Oedeem, batang mengalami pembengkakan
- Mummifikasi, kondisi seperti mumi, rapuh dan kering
- Daun mengeriting atau bergelombang
- Erinose, keluarnya cairan dari kulit batang
- Hexeem bezem, cabang-cabang tak berkembang dan pendek seperti sapu
- Kerdil
Dari segi ekonomi, tanaman adalah penghasil bahan-bahan yang berguna bagi manusia, sehingga dari segi ini penyakit tanaman adalah ketidakmampuan tanaman menghasilkan bahan yang dibutuhkan manusia sehingga manusia mengalami kerugian. Dari uraian diatas, tanaman/pohon yang sakit dapat didefinisikan sebagai tanaman/pohon yang mengalami gangguan fisiologis yang disebabkan oleh penyebab penyakit yaitu pathogen yang kemudian gangguan ini dimunculkan dalam bentuk gejala dan dimana kejadian ini secara ekonomis merugikan manusia. Dan kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana tanaman itu menjadi sakit? Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu konsep bagaiamana tanaman dapat menjadi sakit.

2. PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA TANAMAN

Konsep timbulnya suatu penyakit semakin berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu penyakit tumbuhan, pada awalnya para pakar yang dipelopori oleh DeBary menujuk pathogen sebagai penyebab penyakit yang utama, selanjutnya diketahui bahwa dalam berbagai buku teks mengenai penyakit tumbuhan umunya dianut konsep segitiga penyakit (disease triangle) seperti antara lain dikemukan oleh Blanchard dan Tattar (1981). Ketiga komponen penyakit tersebut adalah inang, pathogen dan lingkungan. Kemudian berkembang sebuah konsep yang dasari pemikiran bahwa manusia ikut berperan dalam timbulnya suatu penyakit tumbuhan karena manusia dapat memberikan pengaruh terhadap pathogen dan tanaman inang itu sendiri serta kondisi lingkungan dimana tanaman itu tumbuh, konsep ini dikenal dengan segi empat penyakit atau (disease squaire) dimana manusia dimasukkan sebagai salah satu faktor dalam komponen timbulnya penyakit. Beberapa faktor komponen dalam penyakit ini selanjutnya dapat diuraikan kembali sehingga konsep timbunya suatu penyakit semakin berkembang dan semakin komplek.

A. Konsep Segitiga Penyakit (Disease Triangle)

Konsep pertama yang dikembangkan para pakar adalah konsep segitiga penyakit (Gbr. 1), dimana konsep ini menjelaskan timbulnya penyakit biotik (penyakit yang disebabkan oleh pathogen) yang di dukung oleh kondisi lingkungan dan tanaman inang.

- Komponen
Untuk timbulnya suatu penyakit paling sedikit diperlukan tiga faktor yang mendukung, yaitu tanaman inang atau host, penyebab penyakit atau pathogen dan faktor lingkungan (Gbr. 1).
• Tanaman Inang
Pengaruh tanaman inang terhadapnya timbulnya suatu penyakit tergantung dari jenis tanaman inang, kerentanan tanaman, bentuk dan tingkat pertumbuhan, struktur dan kerapatan populasi, kesehatan tanaman dan ketahanan inang. Tanaman inang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu :
1. Tanaman inang rentan : inang yang mudah terserang pathogen sementara pada kondisi sama dan pathogen sama, inang lain resisten.
2. Tanaman inang resisten : Inang yang tahan terhadap serangan pathogen sementara pada kondisi sama dan pathogen sama, inang lain rentan.
3. Tanaman inang toleran : inang yang rentan tetapi inang tersebut masih mampu menghasilkan produk yang ekonomis.
4. Tanaman inang sekunder : inang yang bukan menjadi makanan utama.
5. Tanaman inang primer : inang yang memang menjadi tempat dan sumber nutrisi makanan utama/pokok dari pathogen.
6. Tanaman inang alternative : tempat dan nutrisi makanan jika tidak ada inang sekunder, primer dimana pathogen dimasing-masing inang bias menyelesaikan siklusnya.
7. Tanaman inang perantara : inang yang dapat dijadikan perantara untuk menyelesaikan siklus penyakit. Keberadaan inang ini pada salah satu jenis penyakit menjadi penting, karena tanpa inang perantara ini meskipun pathogen ada dan inang utama ada, pathogen akan mati sehingga tidak akan terjadi penyakit.
Timbulnya suatu penyakit juga tergantung pada sifat genetic yang dimiliki oleh inang itu sendiri, terdapat inang yang rentan (suscept), tahan (resisten), toleran (tolerant), kebal (immune) yaitu tanaman yang tidak dapat diinfeksi oleh pathogen. Adanya macam-macam sifat ini digunakan untuk melakukan upaya pencegahan penyakit dengan memanipulasi gen sehingga dapat dihasilkan tanaman yang resisten bahkan immune Umur, bentuk dan kerapatan pohon juga berpengaruh terhadap kemungkinan tanaman tersebut diserang penyakit. Misalnya beberapa marga fungi seperti Fusarium, Phytophthora, Phythium, Sclerotium dan Rhizoctonia banyak menyerang tanaman sengon, mangium, eukaliptus, dammar, sonokeling dan gmelina pada tingkat semai.
Faktor lain dari inang yang berpengaruh terhadap kemungkinan terserangnya sutu penyakit adalah kesehatan tanaman inang. Tanaman yang sehat merupakan tanaman yang mempunyai pertumbuhan baik (daun dan batang segar), batang lurus, tajuk lebat dan tidak terserang hama dan penyakit. Salah satu faktor yang mendukung dihasilkannya tanaman yang sehat adalah bibit yang ditanam adalah berasal dari bibit yang sehat. Bibit yang sehat ini berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5006.1-2006 tentang Mutu bibit, merupakan bibit segar yang tidak terserang hama dan atau penyakit dan atau tidak ada gejala kekurangan unsur hara. Teknik memperoleh bibit sehat ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain, kultur jaringan, perlakuan terhadap benih secara kimiawi dan perlakuaan terhadap benih dengan mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme yang dapat digunakan berdasarkan hasil penelitian antara lain Fusarium oxysporum non patogenik (F.o.NP), Bacillus, Pseudomonas flourescens. Di beberapa Negara maju seperti Jepang, Jerman, Cina dan AS telah menggunakan Fo.NP untuk memproduksi bibit sehat dan toleran terhadap patogen tertentu. Di Indonesia telah digunakan secara luas untuk memproduksi bibit vanili sehat (vanili Bio-FOB) yang bebas dan toleran terhadap penyakit busuk batang vanili. Kemungkinan tidaknya tanaman menderita penyakit juga dipengaruhi ketahanan tumbuhan (senjata yang dimiliki) tersebut untuk mencegah timbulnya penyakit. Dikenal 2 (dua) mekanisme pertahanan yang dimiliki tumbuhan pada saat pra-infeksi maupun pasca infeksi yaitu pertahanan Fisik-mekanik dan pertahanan Biokimia.
1. Pra Infeksi
Pada tahap ini, mekanisme pertahanan fisik-mekanik (pertahanan structural) berupa duri, bulu, lapisan lilin yang terdapat pada daun,batang ataupun organ lainnya. Sedangkan pertahanan biokimia berupa senyawa yang dihasilkan, yaitu : senyawa hasil metabolism sekunder (flavanoid, alkaloid, glycocid), senyawa yang dikeluarkan sebagai eksudat, senyawa yang menghambat, tidak menghasilkan senyawa yang diinginkan pathogen.
2. Pasca Infeksi
Pada tahap ini, mekanisme pertahanan fisik-mekanik yang dimiliki inang dapat berupa pertahanan sitoplasmid (pada waktu pathogen masuk dalam sel pathogen dikurung dalam sel), pertahanan seluler (sel inang membuta selubung sehingga pathogen tidak dapat menyentuh sel lain), pertahanan jaringan (pembentukan lapisan gabus, lapisan absisi), pertahanan organ (menjatuhkan organ yang terkena penyakit). Sedangkan mekanisme pertahanan biokimia tahap ini berupa membentuk senyawa beracun, membentuk senyawa yang dapat membuat tidak aktif enzim pathogen, membentuk senyawa yang dapat mendetoksi pathogen, membentuk senyawa yang dapat merubah lintasan, membentuk senyawa yang dapat merubah biosntetik dalam proses metabolism, menghasilkan enzim yang dapat merubah senyawa yang tadinya tidak beracun menjadi beracun.
• Patogen
Yang dimaksud pathogen adalah organism hidup yang mayoritas bersifat mikro dan mampu untuk dapat menimbulkan penyakit pada tanaman atau tumbuhan. Mikroorganisme tersebut antara lain fungi, bakteri, virus, nematoda mikoplasma, spiroplasma dan riketsia.
- Fungi merupakan organisme tingkat rendah yang belum mempunyai akar, batang, dan daun tetapi mampu menimbulkan kerusakan jaringan bahkan mematikan tanaman inang. Tubuhnya ada yang terdiri dari satu sel dan ada pula yang terdiri dari banyak sel, yang terdiri banyak sel umumnya berbentuk benang (hifa), hifa yang bercabang-cabang membentuk bangunan seperti anyaman yang disebut miselium. Fungi mempunyai tiga ciri, yaitu:
1) tidak mempunyai jaringan pembuluh,
2) salah satu alat berbiaknya adalah spora,
3) tidak mempunyai klorofil. kelas-kelas dalam jamur dan yang paling
banyak menjadi penyebab penyakit tanaman, yaitu: 1) Ascomycetes, 2)
Basidiomycetes, 3) Deuteromycetes, 4) Phycomycetes. Contoh penyakit
yang ditimbulkan oleh pathogen ini adalah penyakit karat daun (jamur
Hemileia vastatrix B.et Br) (Gbr. 2), penyakit bercak daun cercospora
(jamur Cercospora coffeicola B.et Cke.) (Gbr.3), penyakit jamur upas
(jamur Corticium salmonicolor B.et Br.) (Gbr.4).

- Bakteri merupakan tumbuhan bersel satu dan berdinding sel, tetapi bersifat prokariotik (tidak mempunyai membran inti). Bakteri mempunyai kemampuan mereproduksi individu sel dalam jumlah sangat banyak dengan waktu singkat sehingga menjadi penyebab penyakit yang mempunyai sifat merusak pada inang. Penyebaran bakteri tidak melalui spora, sehingga secara adaptif tidak dapat disebarkan melalui angin. Akan tetapi, bakteri patogenik mampu berpindah dengan perantara air, percikan air hujan, binatang, dan manusia. Contoh bakteri : Pseudomonas aeruginosa (Gbr.5),
Pseudomonas syringae (Gbr.6). Contoh penyakit yang disebabkan oleh pathogen bakteri, mis kanker pada jeruk (Citrus cancer).

- Fitonematoda atau nematoda yang memarasit tanaman mempunyai ukuran yang sangat kecil, memanjang dan berbentuk silinder. Nematoda non-parasit memakan jamur, bakteri, nematoda lain atau serangga kecil yang hidup di tanah. Sedangkan, nematoda parasit tanaman mempunyai struktur khusus yang disebut spear (lembing) atau stylet (jarum). Berdasarkan perilaku, nematoda parasitik pohon dibagi menjadi dua, yaitu: Nematoda ektoparasit, nematoda yang pada saat memarasit tanaman tubuhnya tetap berada di luar akar dan hanya sebagian kecil dari tubuh nematoda yang masuk ke dalam jaringan tumbuhan inang ; Nematoda endoparasit, yaitu: nematoda yang saat memarasit tanaman, tubuhnya masuk, merusak dan melakukan reproduksi di dalam akar tanaman. Contoh nematode yaitu : Meloidogyne spp. (Gbr.7), Paratylenchus spp. (Gbr.8).

- Virus merupakan organism aseluler, dimana asam nuklead virus hanya terdiri DNA atau RNA saja. Virus merupakan penyebab penyakit yang paling merusak, tidak hanya terjadi pada tanaman, tetapi juga pada manusia dan ternak. Virus dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, mengurangi hasil produksi, bahkan mampu menimbulkan kematian tanaman inang (penyakit CVPD pada jeruk). Contoh virus adalah TMV (Tobacco Mozaic Virus) (Gbr.9).

Suatu organisme disebut patogen apabila dapat memenuhi postulat Koch yaitu :
1. Patogen ditemukan pada pohon yang terserang patogen
2. Patogen dapat diisolasi dan diidentifikasi
3. Patogen dapat diinokulasikan pada spesies inang yang sama dan menunjukkan gejala yang sama
4. Dapat diisolasi kembali
Pengaruh komponen pathogen dalam timbulnya penyakit sangat tergantung pada kehadiran pathogen, jumlah populasi pathogen, kemampuan pathogen untuk menimbulkan penyakit yaitu berupa kemampuan menginfeksi (virulensi) dan kemampuan menyerang tanaman inang (agresivitas), kemampuan adaptasi patogen, penyebaran, ketahanan hidup dan kemampuan berkembangbiak pathogen. Kemampuan pathogen menyerang tanaman inang dipengaruhi oleh senjata yang dimiliki oleh pathogen, dimana senjata ini sangat tergantung pada jenis pathogen itu sendiri. Secara umum senjata yang dimiliki pathogen untuk menyerang tanaman dapat dibedakan menjadi dua yaitu fisik-mekanik dan biokimia. Senjata fisik-mekanik dapat berupa jarum (stilet) seperti yang dimiliki nematode atau berupa austarium yang dimiliki oleh fungi. Sedangkan yang biokimia dapat berupa enzim, toksin, antibiotic, zat pengatur tumbuh (ZPT) dan senyawa yang berfungsi sebagai racun atau penyumbat.

• Lingkungan
Faktor lingkungan yang dapat memberikan pengaruh terhadap timbulnya suatu penyakit dapat berupa suhu udara, intensitas dan lama curah hujan, intensitas dan lama embun, suhu tanah, kandungan air tanah, kesuburan tanah, kandungan bahan organic, angin, api, pencemaran air. Faktor lingkungan ini memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang dan mnenciptakan kondisi yang sesuai bagi kehidupan jenis pathogen tertentu.

- Interaksi antar Komponen
Diantara ketiga komponen ini manakah yang paling bertanggung jawab terhadap timbul dan berkembangnya suatu penyakit? Berkembangnya suatu penyakit tegantung pada interaksi ketiga komponen tersebut, yaitu kerentanan inang, derajat virulensi suatu pathogen serta kecenderungan apakah faktor lingkungan lebih mendukung pathogenesis ataukah sebaliknya mendukung keteguhan pertumbuhan inang. Pada konsep segi tiga penyakit ini apabila salah satu faktor penyebab tidak ada, maka tidak akan ada suatu kejadian penyakit. Contohnya apabila ada satu faktor yaitu pathogen tidak ada, yang ada hanya tanaman inang yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak optimal untuk pertumbuhannya, maka kemungkinan tidak akan terjadi penyakit. Sebaliknya apabila dalam kondisi pertumbuhan tanaman tersebut diatas dan ada pathogen disekitar tanaman tersebut serta lingkungan mendukung pertumbuhan pathogen, maka kecenderungan untuk terjadinya infeksi penyakit pada tanaman cukup besar.
Kemudian apabila ada suatu tanaman inang ditanam pada lingkungan yang baik yaitu tanah yang subur dengan pengolahn yang baik dan pemberian pupuk yang cukup dan seimbang, maka tentunya akan menjamin pertumbuhan tanamanyang sehat, walaupun ada pathogen, maka kecil kemungkinan penyakit dapat terjadi. Hal ini dikarenakan tanaman inang kemungkinan dapat tahan terhadap serangan pathogen. Sedangkan apabila tanaman inang tidak baik dalam pertumbuhannya yang berarti kondisinya rentan, kemudian ada pathogen dan lingkungan mendukung pertumbuhan pathogen maka kemungkinan terjadinya infeksi penyakit sangat besar.

B. Konsep Segiempat Penyakit (Disease Square)

Konsep penyakit pada dasarnya akan lengkap apabila dapat memberikan penjelasan dan penekanan pada peran faktor lingkungan terhadap pathogen, inang dan interaksi antara keduanya yang ternyata ada salah satu faktor yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi ketiga komponen tersebut yaitu manusia. Sehingga penyakit sebenarnya merupakan hubungan segi empat antar faktor pathogen, faktor inang, faktor lingkungan fisik/kimia dan lingkungan biologi, serta faktor manusia sehingga disebut segi empat penyakit (Gbr. 2).

- Komponen
Komponen segiempat penyakit ini tediri dari 3 komponen segitiga penyakit yang telah diuraikan di atas ditambah komponen manusia. Di dalam konsep ini manusia berada diatas karena manusia memiliki akal budi sehingga mempunyai kemampuan untuk memanipulasi atau mempengaruhi tiga komponen lainnya, yaitu tanaman inang, pathogen ataupun lingkungan. Dimana tindakan yang dilakukan manusia dapat menjadi salah satu faktor pendukung timbulnya suatu penyakit ataupun bahkan mencegah timbulnya suatu penyakit.
- Interaksi antar komponen
Jadi menurut konsep ini timbulnya suatu penyakit merupakan penggabungan dan terjadinya interaksi antara empat faktor tersebut, yaitu :
1.a Patogen berinteraksi dengan inang melalui proses-proses parasitisme dan pathogenesis, dan sebaliknya inang berinteraksi dengan pathogen dalam hal penyediaan makanan dan ketahanan.
b.Patogen berinteraksi terhadap lingkungan fisik/kimia dalam pengeluaran racun, pengurasan makanan dan sebaliknya lingkungan fisik/kimia memberikan tidak hanya fasilitas kelembaban, suhu dan hara, tetapi juga racun.
c. Antar pathogen juga dapat terjadi interaksi, adapun interaksi yang terjadi dapat memberikan pengaruh yang sinergis, netral ataupun antagonis. Pengaruh sinergisme terjadi pada saat dua atau lebih pathogen bersama-sama menyerang tanaman, yang terjadi dapat berupa meningkatkan serangan, misal beberapa fungi busuk akar bersama nematode akan menyebabkan serangan yang hebat jika bersama-sama, dalam hal ini nematode akan melukai akar dan luka yang ada digunakan fungi sebagai jalan masuk untuk menginfeksi inang. Kejadian yang lain dapat berupa pathogen yang satu dapat mengubah sifat ketahanan inang sehingga dapat diserang oleh pathogen yang lain misalnya pada tanaman tembakau adanya serangan nematode menyebabkan inang tersebut dapat terserang oleh Phytophtora parasitica.
2. Lingkungan fisik/kimia berinteraksi dengan tanaman inang dalam proses penyediaan kondisi tempat tumbuh yang sesuai atau tidak bagi pertumbuhan inang, timbulnya penyakit abiotik dan pra-disposisi dan sebaliknya inang berpengaruh terhadap lingkungan fisik/kimia berupa pemberian naungan dan eksudat serta pengurasan hara dan air.
3. Inang memfasilitasi parasit sekunder dan populasi lingkungan biologi dan sebaliknya lingkungan biologi dapat menjadi parasit sekunder serta simbion
4. Patogen berinteraksi dengan lingkungan biologi melalui parasitisme (alternative) dan sebaliknya lingkungan biologi dapat pula memparasit pathogen.
5. Lingkungan fisik/kimia memberikan fasilitas suhu, kelembaban, makanan dan juga racun kepada lingkungan biologi, dan sebaliknya lingkungan biologi menguras hara serta mengeluarkan antibiotic ke dalam lingkungan fisik.
6. Manusia mempengaruhi ketiga faktor yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung, misal agar suatu penyakit tidak menyerang, maka manusia memilih tanaman yang resisten, manusia mampu memanipulasi ketahanan jenis tanaman yang akan dibudidayakan, mengusahakan lingkungan pertanaman agar mengurangi serangan pathogen, melakukan kegiatan dalam pengelolaan tanaman (pengaturan jarak tanam, pencampuran jenis, penjarangan).

C. Konsep Timbulnya Penyakit Dari Komponen Abiotik dan Biotik

Beberapa komponen dalam segiempat penyakit dapat diuraikan kembali menjadi beberapa faktor ini, hal ini menjadikan konsep timbulnya suatu penyakit merupakan suata hal yang komplek bukan hanya pengaruh satu faktor saja.

- Komponen
Pada konsep ini komponen faktor lingkungan diuraikan menjadi faktor abiotik dan faktor biotic. Dimana faktor lingkungan abiotik dapat mendukung atau tidak mendukung terhadap pengaruh komponen yang lain, sedangkan faktor biotic dibedakan dengan pathogen meskipun pathogen itu sendiri adalah faktor biotik sehingga apabila pengaruh faktor-faktor tersebut digambarkan dapat dilihat pada Gbr. 3

Faktor abiotik penyusun lingkungan tempat tumbuh , terdiri atas cuaca (suhu, kelembaban dan angin), iklim yang ditentukan oleh banyaknya curah hujan, tanah, air, cahaya dan hara. Secara umum faktor ini dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor abiotik yang mendukung terhadap kelangsungan hidup inang, pathogen dan faktor biotic serta yang tidak mendukung komponen tersebut. Sedangkan komponen biotic itu sendiri dapat berupa organism hidup selain yang bersifat pathogen.

- Interaksi antar komponen
Secara umum faktor abiotic menentukan apakah interaksi antara pathogen dan inang dapat berkembang menjadi suatu penyakit, faktor abiotik juga dapat menjadi penyebab langsung dari timbulnya suatu penyakit dan fakktor abiotic dapat menjadi pendukung atau tidaknya pathogen dapat bertahan hidup dalam kondisi normal. Faktor abiotik berperan sebagai penyebab langsung suatu penyakit apabila berada dalam kondisi kekurangan atau kelebihan, dan hal ini terjadi umunya tidak disebabkan oleh faktor tunggal yang terpisah dari faktor penyebab lain. Contoh faktor abiotik yang dapat menyebabkan suatu penyakit misalnya terjadinya perubahan persentase kelembaban, saat kelembaban nisbi tinggi, penguapan dari tumbuhan menjadi rendah, sehingga dapat terjadi penghambatan penyerapan hara, terutama kalsium, dari dalam tanah. Kekurangan hara ini dapat berakibat gangguan formasi sel dan daun pada tumbuhan, sebagai contoh kulit tanaman ceri yang belum dewasa dapat terbelah selama periode musim basah. Interaksi faktor abiotik dan pathogen dapat menjadi faktor pra-disposisi timbunya penyakit. Sebagai contoh, suhu rendah, kekahatan hara dan polusi udara menyebabkan pra-disposisi tumbuhan terhadap infeksi Alternaria dan fungi penyebab mati kulit, seperti Leucostoma dan Botryosphaeria. Kerusakan tumbuhan karena kelebihan air seringkali diikuti oleh infeksi Phythium yang merupakan fungi penyebab penyakit akar. Selain tersebut interaksi faktor abiotik dan pathogen terjadi dalam penyebaran pathogen yang disebabkan oleh air dan angin. Interaksi pathogen dan faktor biotic dapat berupa hubungan yang sinergis, Suatu pathogen dapat menyebabkan mikroorganisme lain yang semula non-patogenik menjadi patogenik. Aspergillus spp., Penicillium spp. dan Trichoderma spp. merupakan fungi yang umum ditemukan didalam tanah, yang pada kondisi normal tidak bersifat patogenik terhadap tembakau dan tanaman lain, akan tetapi bila akar tumbuhan tersebut terinfeksi nematode puru akar, jenis fungi ini akan mampu menginvasi akar. Interaksi pathogen dan faktor biotic juga dapat terjadi dalam penyebaran pathogen, beberapa serangga membantu penyebaran pathogen atau juga dapat menjadi agen atau vector timbullnya penyakit yang disebabkan oleh pathogen.
Interaksi faktor biotic dan pathogen serta inang dapat memberikan pengaruh antagonistic terhadap inang, sehingga inang akan terangsang untuk melakukan reaksi biokimia sebagai alat pelindung terhadap serangan pathogen berikutnya. Misalnya inang mampu memproduksi bahan-bahan bersifat racun pada fungi (fungitoksik) untuk menghambat perkembangan pathogen fungi. Faktor biologi dapat menjadi organism antagonis, artinya adalah organism yang berlawanan. Berlawanan disini berarti berlawanan dengan organism pathogen. Karena adanya pengaruh antagonis ini maka organism ini dapat digunakan sebagai pengendali penyakit secara biologi. Antagonis berarti agen biologi yang berpotensi untuk mengganggu proses kehidupan dari pathogen tanaman, yang termasuk kedalam organism antagonis diantaranya golongan jamur, bakteri, virus, nematode, protozoa. Supena (1980) melaporkan bahwa fungi saprofitik yang terdapat dalam residu tanaman Calopogonium lignosis mampu menekan serangan penyakit cendawan akar putih ( Rigidiporus lignoses) pada tanaman karet.

KESIMPULAN

Konsep bagaimana tanaman menjadi sakit semakin berkembang seiring bekembangnya pengetahuan sehingga semakin diketahuinya faktor-faktor yang berpengaruh dan interaksi antar faktor tersebut terhadap timbulnya penyakit. Penyakit tanaman kemudian dipandang tidak hanya sebagai penyakit biotis, tetapi kemudian berkembang adanya penyakit abiotis dan kemudian berkembang pandangan adanya penyakit majemuk yang lebih komplek penyebab dan interaksinya.



DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1969. Plant Phatology. London : Academic Press, Inc
Blanchard, R.O dan T.A Tattar. 1981. Field and Laboratory Guide to Tree
Pathology. Academic press. New York.
Djafarudin. 2001. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman (Umum). Bumi Aksara.
Jakarta.
Martoredjo, T. 1984. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan Bagian dari
Perlindungan Tanaman. Andi Offset. Yogyakarta.
Supena, H. 1980. Pengaruh residu tanaman terhadap perkembangan penyakit
cendawan akar putih (Rigidiporus lignosus Klotzch) pada tanaman karet.
Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Widyastuti, SM., Sumardi dan Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Yudiarti, T. 2007. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Graha Ilmu. Yogyakarta.