2009/04/14

HUTAN PELUANG DAN HARAPAN

A. REBOISASI DAN REHABILITASI

Dewasa ini dan ke depan, kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan merupakan aspek penting yang harus dilaksanakan guna mempertahankan produktifitas sumber daya hutan secara berkelanjutan. Hal ini mengingat luas lahan kritis yang ada di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah sudah mencapai angka yang memprihatinkan yakni mencapai areal seluas 4.331.092 Ha, yang terdiri dari lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 2.815.803 Ha dan lahan kritis di luar kawasan hutan seluas 1.515.389 Ha.

Dalam rangka melaksanakan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dan hutan tersebut selama ini dan untuk selanjutnya dilaksanakan melalui beberapa program atau kegiatan secara simultan, baik yang dilaksanakan secara mandiri dan terintegrasi dengan kegiatan pengusahaan hutan oleh pemegang HPH/HPHTI maupun melalui proyek-proyek pembangunan, sebagai berikut :

1. Melalui Sistem Silvikultur TPTI

Dalam sistem silvikultur TPTI tanggung jawab untuk mempertahankan dan meningkatkan produktifitas hutan oleh pemegang HPH secara jelas dan tegas telah diatur dalam 11 (sebelas) tahapan TPTI, yakni sejak tahapan yang ke-5 dan seterusnya yang juga dikenal sebagai kegiatan pembinaan hutan, yang dapat pula diartikan sebagai kegiatan rehabilitasi kawasan hutan di dalam areal kerja HPH. Disamping itu, penerapan selective cutting atau pembatasan limit diameter pohon yang boleh ditebang secara langsung atau tidak langsung juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya-upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan produktifitas hutan.

Secara nyata implementasi kegiatan rehabilitasi kawasan hutan dengan sistem silvikultur TPTI tersebut oleh para pemegang HPH berupa :

a)Kegiatan perkayaan; merupakan kegiatan penanaman permudaan alam setempat dengan maksud memperkaya struktur tegakan dan potensinya dengan membuat jalur-jalur tanam di areal-areal tertentu di dalam blok-blok kerja HPH yang diidentifikasi memiliki potensi kurang atau bahkan tidak potensial (£ 20 M3/Ha), dengan jarak tanam setiap interval 5 meter.
b)Kegiatan penanaman; yakni kegiatan penanaman permudaan alam setempat maupun jenis pendatang (fast growing species) pada lokasi-lokasi tanah kosong, bekas jalan sarad, bekas base camp, bekas TPK/TPn, dan lain-lain di dalam areal kerja HPH.

Adapun realisasi pelaksanaan sistem silvikultur TPTI oleh para pemegang HPH dalam 2 (dua) tahun terakhir ini berturut-turut mencapai 91,63 % untuk tahun RKT-PH 1999/2000 dan 82,50 % untuk tahun RKT-PH 2000.

Prosentase pencapaian realisasi TPTI tersebut memang relatif cukup besar atau dapat dilkatakan bahwa implementasi pelaksanaan TPTI oleh para pemegang HPH berjalan cukup baik, setidaknya menurut data yang dihimpun dari Laporan Bulanan perusahaan HPH. Namun hal tersebut tampaknya tidak sinkron dengan kenyataan di lapangan, dimana potensi per satuan luas kawasan hutan produksi yang cenderung terus menerus mengalami penurunan (terdegradasi) dari tahun ke tahun. Semestinya apabila TPTI dilaksanakan secara benar di lapangan tentu akan berimplikasi pada meningkatnya produktifitas tegakan termasuk berlangsungnya proses regenerasi hutan secara normal atau terjadi suksesi hutan.

Oleh karena itu, evaluasi terhadap pelaksanaan sistem silvikultur TPTI hendaknya tidak semata-mata melihat data pencapaian realisasi terhadap target kegiatannya, tetapi juga dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap tingkat keberhasilan dari parameter-parameter yang terealisasi tersebut.

Misalnya, menurut laporan perusahaan telah dilaksanakan penanaman/ pengayaan sejumlah 90.000 anakan di areal kerjanya dari target 100.000 anakan atau realisasi 90 %. Yang perlu dikaji dan dievaluasi adalah justru seberapa banyak dari 90.000 anakan tersebut yang berhasil tumbuh normal untuk mencapai tingkatan-tingkatan pertumbuhan tegakan, mulai dari berapa yang mampu tumbuh mencapai tingkat semai (seedling), tingkat sapihan (sapling), tingkat tiang (pole) dan yang mencapai tingkat pohon (tree) pengganti tegakan yang ditebang. Jadi yang dilihat dan dinilai bukanlah angka 90 %-nya itu semata-mata.

2. Melalui Sistem Silvikultur TPTJ

Disamping sistem silvikultur TPTI, beberapa tahun belakangan salah satu sistem silvikultur yang juga diterapkan dalam kegiatan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah adalah sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ).
Hakekat penerapan sistem silvikultur TPTJ pada dasarnya adalah untuk mengantisipasi menurunnya potensi tegakan per satuan hektar pada rotasi kedua pengusahaan hutan sekaligus menerapkan fungsi rehabilitasi atas seluruh areal bekas tebangan di dalam areal kerja HPH yang bersangkutan berdasarkan aturan-aturan teknis yang tertuang dalam buku RKT-PH.
Penurunan limit diameter yang boleh ditebang (dibandingkan dengan TPTI) yakni menjadi Æ 40 cm up memang dapat mendongkrak produksi per satuan hektar HPH yang bersangkutan. Pada sisi lain, intensifnya kegiatan penaman pada setiap jalur tanam dalam TPTJ merupakan hal yang cukup menjanjikan dalam meningkatkan produktifitas hutan produksi alam.
Di Kalimantan Tengah saat ini terdapat 11 (sebelas) unit HPH yang menerapkan sistem silvikultur TPTJ, terdiri dari :

- 4 (empat) unit HPH Murni

- 7 (tujuh) unit HPH Penugasan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan yang dikelola oleh BUMN PT. INHUTANI III.

Dalam penerapan sistem silvikultur TPTJ ini khususnya pada daerah-daerah yang bertopografi bergelombang hingga berbukit (umumnya HPT), diperlukan kehati-hatian ekstra guna menghindari dampak sampingan yang mungkin ditimbulkan, seperti bahaya erosi atau longsor. Bahkan untuk areal-areal HPH dengan karakteristik topografi yang demikian perlu dipertimbangkan layak tidaknya penerapan sistem silvikultur TPTJ, sama halnya dengan kondisi pada hutan rawa.
Penurunan batas diameter pohon yang boleh ditebang hingga diameter 40 cm memiliki konsekuensi akan semakin banyak jumlah pohon (N) yang ditebang guna mengejar perolehan volume (V) per satuan hektarnya. Hal itu berarti faktor permudaan atau penanaman pada jalur-jalur tanam yang dibuat hendaknya betul-betul diperhitungkan baik dari kuantitas maupun kualitas tanaman sehingga keseimbangan tegakan hutan tetap dapat terpelihara. Artinya, N yang dipungut harus minimal sebanding dengan N yang ditanam dengan memperhatikan faktor keberhasilan tumbuh normal (N++).

3. Hutan Tanaman Industri (HTI)
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan bentuk lain dari upaya melakukan rehabilitasi lahan di dalam kawasan hutan sebagai hutan tanaman. Sepanjang pembangunan HTI tersebut dilaksanakan pada kawasan hutan yang memang tidak produktif lagi, maka setidaknya akan tercipta 2 (dua) manfaat utama dari program tersebut, yakni :
Rehabilitasi lahan tidak produktif menjadi areal produktif yang mempengaruhi aspek ketahanan lahan (faktor edaphis) dan ketahanan hidro-orologis.

Peningkatan produktifitas lahan yang menghasilkan produksi kayu sebagai penghara industri dari hutan monokultur yang dibangun.

Pembangunan HTI di Kalimantan Tengah telah berlangsung sejak tahun 1992, hingga sekarang terdapat sebanyak 21 unit HPHTI meliputi areal seluas 359.690 Ha, yang terdiri dari :

- HTI Trans sebanyak 15 unit = 158.995 Ha

- HTI Murni sebanyak 5 unit = 108.545 Ha

- HTI Pulp sebanyak 1 unit = 92.150 Ha.



Apabila dilihat dari lamanya kegiatan pembangunan HTI di Kalimantan Tengah, yakni sejak tahun 1992, hal itu berarti setelah 9 tahun berjalan (tahun 2001 ini) semestinya sudah memasuki masa panen mengingat jenis-jenis tanaman yang dikembangkan dalam HTI umumnya adalah dari kelompok jenis tanaman yang cepat tumbuh dengan daur pendek atau fast growing species. Namun kenyataannya adalah bahwa hingga sekarang belum ada perusahaan HTI yang memasuki masa panen terhadap tanaman yang mereka tanam.

Ditinjau dari segi jumlah unit HTI yang dibangun dan luasnya areal HTI yang mencapai 359.690 Ha tersebut, disamping Pemerintah Propinsi dan Kabupaten, Pemerintah Pusat sangat diharapkan dukungannya secara nyata dalam pembangunan industri pulp dan kertas di daerah dengan jalan menyerahkan kewenangan perijinan industri kehutanan sepenuhnya kepada daerah. Kebutuhan tersebut setidaknya 3 tahun ke depan sudah dapat terealisasi mengingat produksi kayu dari areal HTI yang cukup luas tersebut dimana daur tanaman HTI yang dikembangkan berkisar rata-rata 12 tahun.

4. Melalui Proyek Pembangunan

Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan produktifitas lahan, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, selain yang dilaksanakan oleh para pemegang HPH dan HPHTI yang terintegrasi dengan kegiatan pengusahaan hutan di dalam areal kerjanya, juga dilaksanakan melalui proyek-proyek pembangunan, baik dengan sumber dana APBD (Proyek Bantuan Reboisasi) maupun sumber dana Pusat (DAK-DR).

Proyek Bantuan Reboisasi (APBD) dalam tahun 2000 dilaksanakan tersebar di 5 (lima) Kabupaten/Kota dengan jumlah angaraan seluruhnya sebesar Rp. 150.000.000,- dengan realisasi sebesar Rp. 148.425.000,- (98,95 %).

Untuk tahun-tahun yang akan datang, pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan dan kawasan hutan secara khusus mendapat alokasi anggaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi 40 % (DAK-DR 40 %).

Mekanisme pengalokasian dan penganggaran DAK-DR 40 % tersebut mengacu pada surat Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan cq. Kepala Biro Perencanaan No. 1120/II/REN/2001 tanggal 30 Mei 2001. Berdasarkan pedoman yang ditetapkan tersebut, alokasi DAK-DR 40 % untuk setiap Kabupaten/Kota didasarkan pada 8 (delapan) kriteria, yaitu :

a) Proyeksi penerimaan DR masing-masing Kabupaten/Kota

b) Luas lahan kritis

c) Tingkat kekritisan ekosistem DAS/Sub DAS (DAS prioritas)

d) Jumlah desa tertinggal

e) Jumlah penduduk pra sejahtera

f) Jumlah pegawai di bidang kehutanan

g) Kepadatan penduduk agraris

h) Pelaksanaan kegiatan penghijauan/reboisasi pada tahun-tahun lampau.



Program-program rehabilitasi yang telah disusun memanfaatkan sumber dana DAK-DR 40 % tersebut meliputi :

a) Rehabilitasi di dalam Kawasan Hutan :

b) Rehabilitasi Hutan Produksi di dalam areal HPH

c) Rehabilitasi Hutan Produksi di luar areal HPH

d) Rehabilitasi Hutan Produksi eks HPH

e) Rehabilitasi hutan dan lahan di luar Kawasan Hutan

f) Rehabilitasi hutan dan lahan eks PLG

g) Rehabilitasi Kawasan Hutan Mangrove

h) Rehabilitasi Kawasan Hutan Lindung

i) Rehabilitasi lahan eks Tambang Rakyat

Melalui program-program reboisasi dan rehabilitasi lahan dan hutan sebagaimana dikemukakan di atas harapan yang paling mendasar tentunya adalah terpeliharanya kualitas dan kuantitas sumber daya hutan dan lahan yang produktif dan mampu memberikan manfaat secara lestari bagi pembangunan dan masyarakat. Di sisi lain, adanya program-program tersebut tentu berimplikasi pada pembukaan lapangan kerja baru kepada masyarakat khususnya masyarakat setempat yang selama ini hidup dan mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam hutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa partisipasi masyarakat merupakan kata kunci dari keberhasilan program reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan.

Dengan pemahaman yang demikian, maka secara khusus dalam hal pelaksanaan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan yang dibiayai dengan sumber dana DAK-DR 40 % dengan alokasi dana yang direncanakan cukup besar, dalam pelaksanaannya di-tender-kan kepada masyarakat luas, dimana masyarakat setempat harus dilibatkan secara pro-aktif sejak dari tahapan perencanaan kegiatan hingga operasional di lapangan.

Bahwa demi tercapainya sasaran dan tujuan dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak dapat dipandang hanya dari segi teknis operasional semata-mata (pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dll) tetapi lebih merupakan satu kesatuan dengan hal-hal yang terkait dengan kegiatan pra kondisi lapangan seperti penelitian dan pengembangan (litbang), peningkatan kualitas SDM melalui kegiatan pelatihan bahkan kegiatan pemantauan dan evaluasi pelaksanaannya juga akan sangat menentukan tingkat keberhasilan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan rahabilitasi hutan dan lahan. Oleh karena itu, dalam hal penggunaan alokasi DAK-DR 40 % harus mencakup semua aspek kegiatan tersebut, dimana setidaknya 5 – 10 % dari alokasi DAK-DR 40 % yang merupakan bagian Daerah Penghasil dialokasikan secara khusus untuk kegiatan-kegiatan penelitian, pelatihan dan pemantauan - evaluasi sepanjang terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan yang pengelolaannya terpusat di Propinsi.

B.PENINGKATAN PRODUKTIFITAS PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN

Selama lebih dari tiga dekade yang lalu bahkan hingga sekarang ukuran produktifitas pemanfaatan sumber daya alam hutan umumnya selalu menggunakan parameter kubikasi produksi kayu dari suatu luasan tertentu, disamping beberapa produk hasil hutan bukan kayu. Hal tersebut tentu sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan yang ada dan tantangan ke depan berdasarkan kondisi obyektif sumber daya yang tersedia.

Memasuki rotasi kedua kegiatan pengelolaan dan pengusahaan hutan yang ditandai dengan laju deforestasi dan degradasi potensi yang sangat significant dengan salah satu indikatornya adalah semakin luasnya areal-areal tidak produktif di dalam kawasan hutan, maka diversifikasi produk dari kawasan hutan mutlak diperlukan dan merupakan suatu alternatif yang bijaksana dalam mempertahankan bahkan meningkatkan produktifitas hutan. Bahwa kita tidak lagi harus terpaku pada hasil hutan kayu (dan atau bukan kayu) semata-mata yang dapat dipungut dari dalam kawasan hutan, tetapi perlu ditempuh langkah-langkah terobosan berupa diversifikasi produk yang mampu dihasilkan dari kawasan hutan atau melalui pemanfaatan kawasan hutan sebagaimana juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hal mana dapat dilakukan dengan tanpa merubah fungsi kawasan hutan itu sendiri.

Salah satu langkah diversifikasi dimaksud yang dapat diterapkan adalah pemanfaatan sekar-sekat bakar di dalam Kawasan Hutan Produksi sebagai areal atau lokasi bagi pengembangan budidaya kehutanan non kayu, misalnya agroforestry dan pengembangan tanaman pertanian secara umum, baik pada hutan multikultur maupun hutan monokultur.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa pengelolaan dan pengusahaan hutan oleh pemegang HPH selama ini menganut siklus tebangan selama 35 tahun (atas dasar asumsi pertumbuhan riap diameter rata-rata sebesar 1 cm per tahun). Hal tersebut pula yang mendasari bahwa suatu areal HPH dibagi atas 7 (tujuh) blok Rencana Karya Lima Tahun (RKL), dimana pada saat RKL ke-VIII kegiatan pengusahaan hutan secara teoritis kembali lagi pada Blok RKL yang pertama, dan seterusnya.

Secara teknis di lapangan, setiap HPH di lapangan diwajibkan membuat batas areal kerja baik berupa batas alam maupun batas buatan. Demikian pula halnya dengan Blok-Blok RKL yang juga dibatasi oleh batas-batas blok secara nyata di lapangan. Adanya batas-batas fisik di lapangan tersebut ternyata selama ini hal tersebut tidaklah menjamin keamanan areal yang dikelola oleh para pemegang HPH mengingat keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat sangat minim bahkan tidak ada sama sekali.
Kewajiban pemegang HPH dalam membuat batas areal kerja HPH maupun batas Blok RKL tersebut untuk masa yang akan datang dapat dikembangkan dengan membuat sekat-sekat bakar dengan jarak sekitar 50 – 75 meter dari tepi batas dalam konteks pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi, yang dalam hal pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan kepada masyarakat setempat dengan bimbingan dari pemegang HPH yang bersangkutan dengan mengadopsi semacam Pola Bapak Angkat atau kemitraan antara HPH dengan masyarakat setempat untuk cakupan kegiatan yang berbeda. Masyarakat diserahkan untuk mengelola areal pada sekat-sekat bakar dengan orientasi produk berupa tanaman pertanian secara umum (agroforestry), sementara pemegang HPH mengelola areal kerjanya dengan orientasi produk berupa kayu.
Bisa dibayangkan betapa besar potensi yang dapat digali dan dikembangkan melalui pengelolaan sekat-sekat bakar sebagai batas areal kerja HPH maupun batas blok-blok kerja di lapangan tersebut. Misalnya suatu HPH dengan luas areal ± 45.000 Ha setidaknya memiliki batas areal kerja sepanjang 180 Km dan di dalamnya terdapat sebanyak 7 (tujuh) Blok RKL dengan asumsi total panjang batas blok mencapai 150 Km, maka hal tersebut berarti akan terdapat potensi sekar bakar di dalam areal kerja HPH seluruhnya sepanjang ± 330 Km. Kalau sekar bakar dibuat dengan jarak 50 – 75 meter dari tepi batas, itu artinya setara dengan luasan mencapai 1.650 – 2.475 Ha per HPH yang dapat dikelola oleh masyarakat setempat.
Melalui kebijakan pemanfaatan kawasan Hutan Produksi dengan pengelolaan sekat bakar semacam itu maka akan dapat diperoleh berbagai manfaat, baik bagi sumber daya hutan itu sendiri, masyarakat maupun pemegang HPH, antara lain :

-Luas kawasan Hutan Produksi tidak mengalami pengurangan (tetap) karena pengelolaan sekar bakar tidak merubah fungsi kawasan hutan.

-Diversifikasi dan ekstensifikasi jenis produk dari dalam kawasan hutan, selain hasil hutan juga diperoleh hasil-hasil non kehutanan.

-Terciptanya kemantapan kawasan hutan sebagai akibat dari timbulnya rasa memiliki (sense of belonging) dari masyarakat setempat terhadap kawasan hutan.

-Terpeliharanya keamanan kawasan hutan, dimana masyarakat setempat pengelola sekat bakar pada batas areal kerja HPH dengan sendirinya juga akan mengamankan “asset” mereka dari berbagai bentuk gangguan atau perambahan.

-Pemegang HPH dapat melaksanakan aktifitasnya dengan dukungan penuh dari masyarakat setempat.

-Pemberdayaan masyarakat setempat

-Terciptanya lapangan usaha dan ksempatan kerja baru sebagai sumber penghasilan yang dapat diandalkan oleh masyarakat setempat.

-Meningkatnya penghasilan (income) pemegang HPH sebagai dampak dari multiproduk yang dihasilkan.

Kesemuanya itu adalah merupakan komponen penyusun dari apa yang dinamakan dengan meningkatnya produktifitas kawasan hutan yang bermuara pada kelestarian sumber daya alam hutan.

C.PENINGKATAN PRODUKTIFITAS PEMANFAATAN HASIL HUTAN

Berdasarkan kenyataan selama ini bahwa kegiatan eksploitasi hutan yang dilakukan dengan menggunakan sistem Tebang Pilih Indonesia (baik TPTI, THPB, THPA, dan TPTJ) telah menyebabkan banyak bagian-bagian pohon berupa limbah yang tidak dan belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Di hutan-hutan bekas tebangan ditemukan banyak sekali pohon yang rusak atau kayu bulat yang tidak memenuhi syarat sortimen yang ditinggalkan.

Besarnya limbah pembalakan yang terdapat dihutan-hutan dapat mencapai jumlah lebih dari 40 % dengan perincian sebagai berikut :

- Sisa tunggak = 2 persen

- Batang cacat = 30 persen

- Cabang dan ranting = 8 persen

Dengan mengacu pada data produksi kayu di Propinsi Kalimantan Tengah sekitar 2,5 juta M3, maka sebanyak ± 1 juta M3 yang belum termanfaatkan/terbuang. Selain di hutan-hutan, limbah kayu yang muncul di Industri pengolahan kayu hilir maupun hulu yang mencapai jumlah lebih dari 50 %. Suatu jumlah yang sangat berarti.

Berdasarkan gambaran tersebut di atas, maka limbah kayu merupakan potensi yang sangat berarti dan berharga bila dapat dimanfaatkan. Untuk itu di masa mendatang kegiatan yang mengarah dalam rangka peningkatan produktifitas dan efisiensi pemanfaatan hasil hutan sangatlah mendesak dilakukan, hal itu diperlukan untuk dapat mengurangi sekecil mungkin limbah kayu yang terbuang.

Berbagai langkah dapat ditempuh, antara lain dengan memberikan kemudahan dalam pemanfatan limbah tebangan, hal itu telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu dengan kemudahan pemberian target Limbah bagi pemegang HPH, selain itu mendorong para pemegang HPH/IPK untuk mengoperasikan Portable Saw.

Kendala dan penyebab belum mampu dimanfaatkannya limbah kayu yang tertinggal di lokasi-lokasi tebangan antara lain karena :

- Kebijakan dalam rangka pemanfaatan limbah kayu terkendala kakunya kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan selama ini antara lain prioritas pemanfaatan limbah kayu sisa tebangan terbatas oleh para pemegang HPH dengan besarnya target sebesar 15 % dari total target produksi RKT-PH (TPTI).

- Peralatan eksploitasi yang dimiliki oleh para pemegang HPH tidak sesuai untuk pemanfaatan limbah, terutama sarana angkutan kayu yang tersedia dikhususkan untuk keperluan pengangkutan kayu produksi yang berkualitas untuk spesifikasi ekspor. Sedangkan pasaran dan kegunaan limbah kayu masih terbatas untuk keperluan lokal dengan harga yang tidak kompetitif.

Kebijakan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan yang memperbolehkan HPH yang bersangkutan untuk memanfaatkan limbah kayu eksploitasi sebesar 15 % dari total target yang diberikan, bahkan bukan sekedar prioritas tetapi lebih merupakan monopoli HPH, akan berdampak pada besarnya produksi limbah itu sendiri. Bahwa tidak ada keseriusan dari pemegang HPH untuk berusaha meminimalkan jumlah limbah kayu dari kegiatan eksploitasi yang mereka kerjakan. Semakin besar limbah dari kegiatan eksploitasi hal tersebut sebenarnya mencerminkan betapa buruknya sistem eksploitasi yang diterapkan di lapangan, bahkan dapat dikatakan bahwa pemegang HPH itu sangat tidak perduli dengan kelestarian sumber daya alam hutan atau efisiensi sumber daya.

Oleh karena itu perlu diambil langkah-langkah kebijakan yang dapat diterapkan secara efektif atau dalam kaitannya dengan pemanfaatan limbah kayu baik yang berupa limbah eksploitasi (di blok-blok tebangan) maupun limbah industri diserahkan sepenuhnya kepada daerah.

C.PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Peranan sektor kehutanan dalam percepatan pembangunan Kalimantan Tengah seperti tahun-tahun sebelumnya, maka untuk ke depan semakin memegang peranan yang sangat strategis. Disamping sebagai kontributor utama PDRB Propinsi Kalimantan Tengah, sektor kehutanan juga memainkan peranan yang multiflier effect terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat dan daerah, terlebih-lebih di era Otonomi Daerah yang telah dimulai tahun 2001 ini.
Pembangunan kehutanan di Kalimantan Tengah secara konsisten akan dilaksanakan dengan paradigma baru yakni pengelolaan hutan untuk kesejahteraan masyarakat dan menjamin terselenggaranya asas-asas pemerataan, keadilan dan berkelanjutan dalam tatanan sistem pemerintahan yang desentralistik yang dijiwai oleh semangat reformasi dan otonomi. Hal tersebut mengandung suatu pengertian bahwa tujuan utama atau the main focus dari pembangunan kehutanan yang dilaksanakan adalah untuk kesejahteraan masyarakat.
Bahwa untuk selanjutnya masyarakat harus ditempatkan sebagai aktor terdepan dalam kegiatan pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai penonton seperti sebelumnya. Oleh karena itu maka pemberdayaan masyarakat menjadi central point dari seluruh aspek kegiatan pengelolaan dan pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Bahwa masyarakat harus “disiapkan” dalam arti diberdayakan sesuai dengan potensi obyektif yang dimilikinya dengan jalan mengeliminir seminimal mungkin segala bentuk kelemahan yang selama ini mereka miliki.
Untuk tujuan tersebut maka langkah strategis yang ditempuh adalah dengan menggalang program kemitraan pengusahaan hutan antara para pemegang HPH/HPHTI dengan masyarakat setempat.
Sebagaimana konsep Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah yang berjudul Kemitraan Koperasi dan HPH, yang kemudian disempurnakan menjadi Kemitraan Masyarakat dan HPH, potensi kemitraan pengusahaan hutan yang dapat dikembangkan di Kalimantan Tengah, dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1)Kemitraan Kepemilikan Saham (Share holder Partnership)

2)Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership), yang terdiri atas :

a)Kemitraan pada Kegiatan Utama pengusahaan hutan (Main Activity Partnership)

b)Kemitraan pada Kegiatan Penunjang pengusahaan hutan (Complementary Activity Partnership)

c)Kemitraan pada Kegiatan Lainnya yang dilaksanakan oleh HPH (Miscellaneous Activity Partnership).

Mengingat kondisi dan potensi obyektif desa baik yang berada di sekitar hutan maupun di dalam areal hutan dimana kegiatan pengusahaan hutan oleh HPH berlangsung yang serba “kurang” dan “terbatas” baik dari segi modal, pengalaman, keahlian, pendidikan dan ketrampilan, maka Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership) dipandang merupakan pilihan yang ideal dalam rangka “memberdayakan” (empowering) masyarakat setempat.

Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership) tersebut bertujuan untuk “mempersiapkan” masyarakat setempat, baik dalam hal permodalan, pengalaman dan keahlian di bidang pengelolaan dan pengusahaan hutan secara lestari, hingga pada saatnya nanti mereka mampu berdiri sendiri (kuat modal dan cukup pengalaman maupun keahlian).
Khusus dalam hal Kemitraan Kepemilikan Saham (Share holder Partnership), telah diatur secara tegas dan jelas dalam PP No. 6 Tahun 1999 (meskipun perlu penyesuaian sesuai UU No. 41 Tahun 2000), SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan masing-masing No. 307/Kpts-II/1999, No. 312/Kpts-II/1999 dan No. 313/Kpts-II/1999 yang mewajibkan setiap pemilik HPH (HPH baru atau HPH perpanjangan) untuk mengalokasikan minimal 20 % sahamnya kepada masyarakat setempat melalui lembaga koperasi, dimana 10 % diantaranya langsung berupa hibah pada saat SK HPH diterbitkan.
Realisasi kepemilikan saham HPH oleh masyarakat setempat tersebut sampai dengan tahun 2001 di Kalimantan Tengah terdapat pada 14 (empat belas) unit HPH baru, yang umumnya berupa :

- Saham milik koperasi masyarakat sekitar hutan, dan

- Saham milik pondok pesantren di Kabupaten setempat.

Sedangkan dalam hal Kemitraan Aktifitas (Activity Partnership) antara HPH dengan masyarakat setempat, yang selama ini telah berjalan, seperti :



- Kerjasama pemiliran kayu (rakit)

- Kerjasama penebangan

- Kerjasama pemasaran hasil-hasil pertanian (ladang)

- Kerjasama pendidikan.

Adanya bentuk kerjasama tersebut masih sangat terbatas, baik dalam hal scope kegiatannya maupun manfaat yang diperoleh. Pada sisi lain, sebenarnya potensi kemitraan yang ada sangat luas dan menjanjikan seperti yang tertuang dalam konsep Kemitraan Masyarakat dan HPH tersebut.

Dalam hal kepemilikan saham koperasi pada HPH (di Kalimantan Tengah pada saat ini terdapat 14 HPH baru yang mengacu pada ketentuan tersebut di atas) maka setidaknya terdapat 2 (dua) hal yang perlu mendapat perhatian serius kita bersama, yakni :

- Bahwa lembaga koperasi yang diperbolehkan memiliki saham hibah pada HPH adalah koperasi yang beranggotakan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar areal kerja HPH yang bersangkutan serta berkedudukan di desa terdekat dan atau bahkan yang berada di dalam areal HPH. Jangan sampai terjadi HPH-nya beroperasi di Kalimantan Tengah, tetapi koperasi mitranya justru adalah koperasi di Jawa.

- Pemerintah Pusat baik Departemen Kehutanan maupun departemen terkait lainnya seperti Departemen Keuangan hendaknya memberikan perhatian khusus dan prioritas penyelesaian masalah kepemilikan saham koperasi pada HPH tersebut, bukan hanya sekedar “retorika” dalam aturan saja. Pengukuhan atau pengesahan kepemilikan saham koperasi masyarakat tersebut sangat penting artinya sehingga pada saatnya koperasi tersebut dapat menerima bagian deviden yang menjadi haknya setiap tahun. Apabila kebijakan tersebut disamaratakan dengan lembaga usaha lainnya, maka tentu saja masyarakat sebagai anggota koperasi tidak akan mampu merealisasi sejumlah modal awal disetor atas persen saham yang dihibahkan tersebut.

E.DUKUNGAN PEMERINTAH PUSAT

1.Umum

Meskipun potensi berdasarkan kondisi obyektif Propinsi Kalimantan Tengah di sektor kehutanan memang sangat menjanjikan untuk dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal pada waktu-waktu yang akan datang, terlebih-lebih dalam era Otonomi Daerah, namun seiring dengan besarnya harapan di sektor kehutanan tersebut diyakini bahwa tantangan maupun hambatan ke depan akan semakin kompleks baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk itu maka dukungan dari Pemerintah Pusat khususnya Departemen Kehutanan sangat diharapkan guna mendukung kelancaran pembangunan sektor kehutanan di Propinsi Kalimantan Tengah yang berbasiskan kerakyatan dan berwawasan lingkungan secara lestari. Terdapat sedikitnya 3 (tiga) hal utama yang perlu mendapat dukungan dari pihak Pemerintah Pusat, yaitu masalah kebijakan, data dan informasi serta pembiayaan.

a.Kebijakan

Disadari bahwa pelaksanaan pembangunan secara berkesinambungan oleh suatu daerah tidak mungkin dapat berdiri sendiri. Bahwa pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam pengertian tersebut maka kebijakan nasional akan menjadi payung dari kebijakan di daerah hingga operasionalisasinya di lapangan. Meskipun demikian, hendaknya dalam penyusunan kebijakan di tingkat pusat hendaknya selalu memperhatikan karakteristik setiap daerah dan kondisi obyektif yang ada dengan selalu mengedepankan aspek pemberdayaan masyarakat.
Suatu kebijakan sektor kehutanan tentunya akan mudah dilaksanakan atau dijabarkan lebih lanjut di daerah kalau hal tersebut tertuang dalam suatu regulasi yang mantap dan obyektif. Obyektifitas disini akan menjadi sangat penting artinya di tahun-tahun yang akan datang seiring dengan telah diberlakukannya Otonomi Daerah, termasuk bagaimana mengakomodasi berbagai tuntutan dan kebutuhan daerah yang pokok, yang bila tidak terpenuhi pada gilirannya akan berimbas hingga ke skala nasional bahkan internasional.
Dalam waktu dekat, semestinya penjabaran Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ke dalam Peraturan Pemerintah segera dapat diselesaikan, mengingat hal tersebut telah tertunda cukup lama.
Hal penting lainnya adalah bahwa dalam penyusunan kebijakan, Pemerintah Pusat hendaknya benar-benar konsekwen dengan pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah menjadi komitmen bersama secara nasional.

b.Data dan Informasi

Salah satu kendala yang sering dihadapi di daerah adalah terbatasnya data dan informasi maupun keterlambatan aliran arus data dan informasi yang sampai di daerah, terutama yang menyangkut kebijakan-kebijakan nasional, regional bahkan internasional termasuk kesepakatan-kesepakatan global. Hal tersebut bukan disebabkan karena kendala media komunikasi mengingat di Propinsi Kalimantan Tengah berbagai fasilitas untuk itu telah established dan exist, seperti telepon, faxcimili, e-mail, internet, Geograpichal Information System (GIS), dan lain-lain, tetapi lebih dimungkinkan karena mekanisme dan managemen distribusi data dan informasi di tingkat pusat atau bahkan aspek sosialisasi ke daerah.

Hal tersebut (data dan informasi) bukan hanya untuk hal-hal yang terkait dengan regulasi kehutanan, tetapi juga menyangkut data dan informasi aktual yang sangat dibutuhkan di daerah.

Sebagai contoh, dalam hal penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2001 ini, Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah cq. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah secara aktif dan terus menerus berusaha mengumpulkan data hotspot yang diliput oleh satelit NOAA dengan jalan membuka homepage Departemen Kehutanan di internet setiap hari sebagai bahan koordinasi dan langkah tindak lanjut di daerah. Sayangnya, data yang ada di homepage tersebut justru sudah tidak valid lagi (tertinggal 2 hari) dan tidak menyajikan data koordinat hotspot dimaksud. Beruntung kemudian dapat diperoleh akses ke sumber pengolah data hotspot satelit NOAA tersebut sehingga data dan informasi harian dapat diperoleh.

c.Pembiayaan

Bagaimanapun juga dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan di daerah sangat memerlukan dukungan pembiayaan (dana) dari Pemerintah Pusat. Dengan dilandasi pemahaman bahwa hutan dengan segala potensinya yang ada di Kalimantan Tengah bukan semata-mata menjadi milik Propinsi Kalimantan Tengah, maka keberhasilan pembangunan kehutanan di Propinsi Kalimantan Tengah tidak terlepas dari dukungan dana dari pemerintah pusat, yang selama ini turun ke daerah dalam bentuk proyek-proyek pembangunan tetapi dirasakan masih jauh dari cukup sesuai dengan kebutuhan yang ada. Tidak jarang terjadi pemotongan usulan anggaran yang mengakibatkan tertundanya bahkan tehambatnya program-program yang telah direncanakan sebelumnya.

Hal mendasar lainnya adalah dukungan dana dari pusat untuk hal-hal yang sifatnya tidak terencana sebelumnya (contingency), atau sebagai “buah” dari suatu kebijakan tertentu dalam suatu waktu tertentu yang terkait dengan kebijakan yang berasal dari Pemerintah Pusat yang dilaksanakan di daerah.

Penanganan masalah Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), kasus illegal logging bahkan bencana asap misalnya, memerlukan dana yang tidak sedikit dimana pihak Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah maupun Pemerintah Kabupaten setempat setidaknya dimasa transisi ini tidak memiliki ketersediaan dana yang cukup. Untuk itu diharapkan Pemerintah Pusat cq. Departemen Kehutanan dapat mengalokasikan semacam Dana Contingency yang diperhitungkan berdasarkan luas kawasan hutan di Propinsi yang bersangkutan serta permasalahan yang dihadapi.

2.Khusus

a.Penertiban TNTP

Text Box: Gambar 15 : Induk orang utan dan anaknya berbagi makanan yang terancam tersingkir di habitatnya

Dalam hal penertiban Taman Nasional Tanjung Putting (TNTP), mengacu pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan kawasan TNTP maupun kawasan konservasi lainnya baik secara teknis maupun operasional termasuk pembiayaannya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan. Namun yang terjadi selama ini terkesan pusat tidak concern dan commited dalam menertiban kawasan tersebut yang tidak saja merupakan asset daerah tetapi lebih merupakan asset nasional bahkan internasional, jutsru sebaliknya ada kecenderungan seluruh langkah yang telah ditempuh oleh Pemerintah Propinsi dan Kabupaten selama ini dianggap gagal atau tidak membuahkan hasil secara significant.
Untuk selanjutnya di waktu-waktu yang akan datang, sudah semestinya Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan tidak tinggal diam dan menunggu tetapi terjun langsung dalam upaya-upaya penertiban Kawasan TNTP secara proaktif dan nyata dengan senantiasa menggalang koordinasi dengan pihak Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah serta Kabupaten setempat.

b. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (DAK-DR 40 %)
Dipahami bahwa kebijakan Dana Alokasi Khusus dari Dana Reboisasi sebesar 40 % (DAK-DR 40 %) untuk program rehabilitasi hutan dan lahan merupakan implementasi dari Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Artinya bahwa meski tampaknya alokasi dana tersebut mengalir dari pusat, tetapi hal tersebut sebenarnya merupakan porsi atau hak daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) sebaiknya tidak menerapkan standar ganda dengan membuat suatu kebijakan mengenai pembatasan alokasi DAK-DR 40 % porsi daerah tersebut. Artinya pada satu sisi alokasi DAK-DR 40 % tersebut diserahkan ke daerah sesuai dengan Undang-Undang, sementara di sisi lain Pemerintah Pusat membatasi penggunaannya oleh daerah seperti yang diatur dalam Pedoman Umum DAK-DR.
Hal tersebut perlu disadari bersama dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) mengingat bahwa dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak semata-mata berupa kegiatan fisik-teknis di lapangan, tetapi harus merupakan suatu sinergi dengan kegiatan-kegiatan pra kondisi non fisik-teknis seperti kegiatan penelitian, pelatihan dan pemantauan - evaluasi yang tentu saja juga memerlukan dukungan dana secara proporsional, yang untuk Kalimantan Tengah dengan kondisi obyektifnya dibutuhkan sekitar 5 – 10 % dari alokasi DAK-DR 40 % tersebut yang dikelola di Propinsi.

No comments:

Post a Comment